Jumat, 02 Juni 2017

Materi Fiqih di MA kelas XI semester 1



BAB 1
JINAYAT

A.  Pengertian Jinayat

       Jinayat adalah salah satu cabang dari yang ada dalam ilmu fikih.  Kata jinayat (جِنـَا يَاتٌ) adalah isim jamak dari kata jinayah (جِنَا يَةٌ ) yang artinya perbuatan melanggar aturan syara’ atau dosa. Meskipun kata jinayat berbentuk isim masdar, namun kata jinayat dipergunakan dalam bentuk jamak. Hal ini karena jinayat mencakup berbagai macam perbuatan pelanggaran atau dosa. Adapun pengertian jinayat menurut istilah adalah perbuatan yang dilarang syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, dan lainnya.
B.  Macam-Macam Jinayat
1. Pembunuhan

   a. Pengertian Pembunuhan
       Pembunuhan secara bahasa adalah menghilangkan nyawa seseorang. Sedangkan secara istilah pembunuh adalah perbuatan manusia yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang baik dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja, baik dengan alat yang mematikan maupun yang tidak mematikan. Artinya melenyapkan nyawa seseorang dengan sengaja atau tidak sengaja, dengan menggunakan alat yang mematikan maupun yang tidak mematikan. Sejalan dengan pendapat sebagian ulama bahwa, pembunuhan merupakan suatu perbuatan manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang dan itu tidak dibenarkan dalam agama islam.
b. Macam-macam pembunuhan
       Pembunuhan dibedakan menjadi tiga yaitu pembunuhan sengaja (قَتْلُ عَمْدٍ), pembunuhan seperti sengaja (قَتْلُ شِبْهِ عَمْدٍ ), dan Pembunuhan Tersalah (قَتْلُ خَطَإٍ) 1).Pembunuhan sengaja (قَتْلُ عَمْد) yaitu pembunuhan terencana dengan menggunakan
alat atau cara – cara yang biasanya mematikan seseorang. Dalam konteks pembunuhan sengaja pelaku pembunuhan harus sudah baligh, dan korban terbunuh adalah orang baik-baik yang terjaga darahnya.
Contoh : Seseorang merencanakan pembunuhan terhadap temannya karena dendam dan pada suatu hari niat tersebut benar – benar dilakukannya dengan cara meracun korban hingga mati.
2).Pembunuhan seperti sengaja (قَتْلُ شِبْهِ عَمْدٍ) yaitu satu perbuatan yang dilakukan seseorang tanpa didasari niat membunuh, dengan alat yang tidak mematikan, akan tetapi menyebabkan kematian orang lain. Contoh : Seseorang yang dengan sengaja memukulkan sapu kepada temannya, dan akibat perbuatan tersebut temannya mati.
3).Pembunuhan tersalah (قَتْلُ خَطَإٍ ) yaitu pembunuhan yang terjadi karena salah satu dari tiga kemungkinan. Pertama; salah dalam perbuatan, kedua; salah dalam maksud, ketiga; kelalaian. Contoh pembunuhan tersalah sebagaimana berikut;
a)    Pemburu yang membidikkan senapannya kepada binatang, akan tetapi targetnya melesat dan mengenai seseorang hingga meninggal. Kesalahan ini disebut salah dalam perbuatan.
b)   Seseorang menembak orang lain yang ia sangka musuh dalam peperangan hingga mati, dan ternyata korban terbunuh adalah kawannya sendiri. Kesalahan seperti ini disebut salah dalam maksud.
c)    Seseorang yang terjatuh dari tangga dan menimpa bayi yang  berada di bawahnya hingga mati. Perbuatan ini masuk dalam kategori kelalaian.
c. Hikmah larangan membunuh
Islam menerapkan hukuman yang tepat guna memelihara kehormatan dan keselamatan jiwa manusia. Pelaku tindak pembunuhan diancam dengan qishash di dunia dan neraka jahannam di akhirat.  Diantara dalil yang menjelaskan tentang hukuman bagi pembunuh adalah Firman Allah ta’ala dalam surat an-Nisa ayat 93:
مَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَ غَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَ لَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيْمًا
Artinya: “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahannam, ia kekal di dalamnya, dan Allah murka kepadanya, mengutuknya, dan menyediakan adzab yang besa baginya.”(Q.S. an-Nisa’: 93)
Sabda Rasulullah Saw:
الْعَمْدُ قَوَدٌ إِلَّا أَنْ يَعْفُوَ وَلِيُّ الْمَقْتُوْلِ
Artinya: “Pembunuhan sengaja (hukumannya) adalah qishash, kecuali jika wali korban memaafkan.”(H.R. Abu Dawud)
Hukuman berat bagi pembunuh dimaksudkan agar tak seorangpun berani menghilangkan nyawa orang lain, hingga rasa aman dan tentram akan dirasakan semua elemen masyarakt tanpa terkecuali.
2. Qishash
a. Pengertian qishash
Menurut syara’ qishash ialah hukuman balasan yang seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun perusakan atau penghilangan fungsi anggota tubuh orang lain yang dilakukan dengan sengaja.
b. Macam – macam qishash
Berdasarkan pengertian di atas maka qishash dibedakan menjadi dua yaitu :
1)   Qishash pembunuhan (yang merupakan hukuman bagi pembunuh).
2)   Qishash anggota badan (yang merupakan hukuman bagi pelaku tindak pidana melukai, merusak atau menghilangkan manfaat / fungsi anggota badan).
c. Hukum qishash
Hukuman mengenai qishash ini, baik qishash pembunuhan maupun qishah anggota badan, dijelaskan dalam al – qur’an surat Al Maidah: 45:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَاْلأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌ­­ج فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ ج وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
Artinya : “ Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (At – Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka – lukapun ada qishashnya. Barang siapa melepaskan ( hak qishashnya ) akan melepaskan hak itu ( menjadi ) penebus dosa baginya. Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang – orang yang dzalim.” (QS. Al – Maidah : 45 )



d. Syarat – syarat qishash
Hukum qishash wajib dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana berikut:
1)   Orang yang terbunuh terpelihara darahnya (orang yang benar-benar baik). Jika seorang mukmin membunuh orang kafir, orang murtad, pezina yang sudah pernah menikah, ataupun seorang pembunuh, maka dalam hal ini hukuman qishash tidak berlaku. Rasulullah Saw bersabda:
لَايُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ (رواه البخاري)
Artinya : “Tidak dibunuh seorang muslim yang membunuh orang kafir.” ( HR. Bukhari)
Hadits di atas menjelaskan bahwa seorang muslim yang membunuh orang kafir tidak diqishash. Pun demikian, harus dipahami bahwa orang kafir terbagi menjadi dua; pertama; kafir harby, dan kedua; kafir dzimmi.
2)   Pembunuh sudah baligh dan berakal, sebagaimana sabda Rasulullah saw :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ ص.م. قَالَ : رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الصَّغِيْرِ حَتَّى يَكْبَرَ وَ عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيْقَ (رواه أحمد و أبو داود)
Artinya : “Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw bersabda: terangkat hukum (tidak kena hukum) dari tiga orang yaitu; orang tidur hingga ia bangun, anak – anak hingga ia dewaasa, dan orang gila hingga ia sembuh dari gilanya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
3)   Pembunuh bukan bapak (orang tua) dari terbunuh.
Jika seorang bapak (orang tua) membunuh anaknya maka ia tidak diqishash. Rasulullah Saw bersabda:
لَا يُقْتَلُ وَالِدٌ بِوَلَدِهِ   (رواه أحمد و الترمذي)
Artinya: “Tidak dibunuh seorang bapak (orang tua) yang membunuh anaknya.” (H.R. Ahmad dan Turmudzi)

Umar bin Khattab dalam satu kesempatan juga berkata:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمِ قَالَ: لَا يُقَاصُ الْوَالِدُ بِالْوَلَدِ (رواه الترميذي)
Artinya : “Aku pernah mendengar Rasulullah  saw bersabda : Tidak boleh bapak (orang tua) diqishash karena sebab ( membunuh ) anaknya.” (HR. Turmudzi).
Dalam hal ini hakim berhak menjatuhkan hukuman ta’zir kepada orang tua tersebut, semisal mengasingkannya dalam rentang waktu tertentu atau hukuman lain yang dapat membuatnya jera. Adapun jika seorang anak membunuh orang tuanya maka ia wajib diqishash.
4)   Orang yang dibunuh sama derajatnya dengan orang yang membunuh, seperti Islam dengan Islam, merdeka dengan merdeka dan hamba dengan hamba. Allah berfirman:

يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أمنواكُتِبَ عَلَيْكُمُ اْلقِصَاصُ فِي الْقَتْلَىصلى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَاْلأُنْثَى بِالْأُنْثَىج...

Artinya : “ Hai orang – orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang – orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.’ (QS. Al – Baqarah : 178 )
5)   Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Maidah ayat 45 yang telah kita bahas kandungan umumnya pada halaman sebelumnya :
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَاْلأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌج ...
Artinya : “ Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (At – Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka – lukiapun ada qishashnya.” (QS. Al – Maidah : 45 )
e. Hikmah Qishash
Qishash baik yang terkait pada al-jinayah ‘alan nafsi (tindak pidana pembunuhan) ataupun al-jinayah ‘ala ma dunan nafsi (tindak pidana yang berupa merusak anggota badan ataupun menghilangkan fungsinya) akan menimbulkan banyak efek positif. Yang terpenting diantaranya adalah:
1)   Dapat memberikan pelajaran bagi kita bahwa neraca keadilan harus ditegakkan. Betapa tinggi nilai jiwa dan badan manusia, jiwa diganti dengan jiwa, anggota badan juga diganti dengan anggota badan.
2)   Dapat memelihara keamanan dan ketertiban. Karena dengan adanya qishash orang akan berfikir lebih jauh jika akan melakukan tindak pidana pembunuhan ataupun penganiayaan. Disinilah qishash memiliki peran penting dalam menjauhkan manusia dari nafsu membunuh ataupun menganiaya orang lain, hingga akhirnya manusia akan merasakan atmosfer kehidupan yang penuh dengan keamanan, kedamaian dan ketertiban.
3)   Dapat mencegah pertentangan dan permusuhan yang mengundang terjadinya pertumpahan darah. Dalam konteks ini qishash memiliki andil besar membantu program negara dalam usaha memberantas berbagai macam praktik kejahatan hingga ketentraman dan keamanan masyarakat terjamin. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَأُولِى الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Artinya : “ Dan dalam qishash itu ada jaminan (kelangsungan hidup bagimu), hai orang – orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (QS. Al – Baqarah : 179 ).
3. Diyat
a. Pengertian Diyat
Diyat adalah sejumlah harta yang wajib diberikan kepada pihak terbunuh atau teraniaya. Maksud disyariatkannya diyat adalah mencegah praktik pembunuhan atau penganiayaan terhadap seseorang yang sudah semestinya mendapatkan jaminan perlindungan jiwa.
b. Sebab – sebab ditetapkannya diyat
Diyat wajib dibayarkan karena beberapa sebab berikut:
1)      Pembunuhan sengaja yang pelakunya dimaafkan pihak terbunuh (keluarga korban). Dalam hal ini pembunuh tidak diqishash, akan tetapi wajib baginya menyerahkan diyat kepada keluarga korban.
2)      Pembunuhan seperti sengaja.
3)      Pembunuhan tersalah.
4)      Pembunuh lari, akan tetapi identitasnya sudah diketahui secara jelas. Dalam konteks semisal ini, diyat dibebankan kepada keluarga pembunuh.
5)      Qishash sulit dilaksanakan. Ini terjadi pada jinayah ‘ala ma dunan nafsi (tindak pidana yang terkait dengan melukai anggota badan atau menghilangkan fungsinya).
c. Macam – macam Diyat
Diyat dibedakan menjadi dua yaitu :
1)   Diyat Mughalladzah atau denda berat.
Teknis diyat mughaladzah adalah membayarkan 100 ekor unta yang terdiri dari
30 hiqqah ( unta betina berumur 3-4 tahun ),
30 jadza’ah (unta betina berumur 4-5 tahun ) dan
40  unta khilfah ( unta yang sedang bunting ).
Yang wajib membayarkan diyat mughaladzah adalah:
a)    Pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja yang dimaafkan oleh keluarga korban. Dalam hal ini diyat harus diambilkan dari hartanya dan dibayarkan secara kontan sebagai pengganti qishash.
Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُتَعَمِّدًادُفِعَ إِلَى أَوْلِيَاءِ الْمَقْتُوْلِ فَإِنْ شَاءُوْا قَتَلُوْا وَإِنْ شَاءُوْا أَخَذُوْا الدِّيَةَ وَهِيَ ثَلَاثُوْنَ حِقَّةً وَ ثَلَاثُوْنَ جَذْعَةً وَ أَرْبَعُوْنَ خِلْفَةً. (رواه الترميذي)
Artinya : “ Barang siapa yang membunuh dengan sengaja, (hukumannya) harus menyerahkan diri kepada keluarga korban, jika mereka menghendaki dapat mengambil qishash, dan jika mereka tidak menghendaki ( mengambil qishash) , mereka dapat mengambil diyat berupa 30 hiqqah ( unta betina berumur 3-4 tahun ), 30 jadza’ah (unta betina berumur 4-5 tahun ) dan unta khilfah ( unta yang sedang bunting )”(HR.Turmudzi(.
b)   Pelaku pembunuhan seperti sengaja. Diyat mughaladzah pada kasus pembunuhan seperti sengaja ini dibebankan kepada keluarga pembunuh dan diberikan kepada keluarga korban dengan cara diangsur selama tiga tahun, setiap tahunnya dibayar sepertiga.
c)    Pelaku Pembunuhan di tanah haram (Mekkah), atau pada asyhurul hurum (Muharram, Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah), atau pembunuhan yang dilakukan seseorang terhadap mahramnya.
2). Diyat Mukhaffafah atau denda ringan.
Diyat mukhoffafah yang dibayarkan kepada keluarga korban ini berupa 100 ekor unta, terdiri dari
20 unta hiqqah (unta betina berumur 3-4 tahun),
20 unta jadza’ah (unta betina berumur 4-5 tahun),
20 unta binta makhath ( unta betina lebih dari 1 tahun),
20 unta binta labun (unta betina umur lebih dari 2 tahun), dan 20 unta ibna labun (unta jantan berumur lebih dari 2 tahun).
Yang wajib membayarkan diyat mukhaffafah adalah:
a)    Pelaku pembunuhan tersalah, dengan tekhnis pembayaran diangsur selama 3  tahun, setiap tahunnya sepertiga dari jumlah diyat.Rasulullah bersabda:
دِيَةُ الْخَطَأِ أَخْمَاسًا, عِشْرُوْنَ حِقَّةً وَ عِشْرُوْنَ بِنْتَ مَخَاضٍ وَ عِشْرُوْنَ بِنْتَ لَبُوْنٍ وَ عِشْرُوْنَ اِبْنَ لَبُوْنٍ. (رواه دارقطني)
Artinya : “ Diyat khatha’ diperincikan lima macam, yaitu 20 unta hiqqah, 20 unta jadza’ah, 20 unta binta makhath ( unta betina lebih dari 1 tahun), 20 unta binta labun (unta betina umur lebih dari 2 tahun), dan 20 unta ibnu labun (unta jantan berumur lebih dari 2 tahun) (HR.Daruquthni)
b)   Pelaku tindak pidana yang berupa menciderai anggota tubuh, atau menghilangkan fungsinya yang dimaafkan oleh korban atau keluarganya.
Jika diyat tidak bisa dibayarkan dengan unta, maka diyat wajib dibayarkan dengan sesuatu yang seharga dengan unta.
c. Hikmah Diyat
               Hikmah terbesar ditetapkannya diyat adalah mencegah pertumpahan darah serta sebagai obat hati dari rasa dendam keluarga korban terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan ataupun penganiayaan.
               Kita dapat merasakan hikmah diwajibkannya diyat saat kita menelaah secara seksama bahwa keluarga korban mempunyai 2 pilihan. Pertama; meminta qishash, kedua; memaafkan pelaku tindak pembunuhan atau penganiayaan dengan kompensasi diyat. Dan saat pilihan kedua dipilih keluarga korban, maka secara tidak langsung keluarga korban telah mengikhlaskan apa yang telah terjadi, hati mereka menjadi bersih dari amarah ataupun rasa dendam yang akan dilampiaskan kepada pelaku tindak pembunuhan ataupun penganiayaan.
               Walaupun secara manusiawi rasa sakit hati ataupun dendam tidak bisa dihilangkan begitu saja dengan diterimanya diyat, tetapi karena keluarga korban telah berniat dari awal “untuk memaafkan pelaku tindak pidana” maka dorongan batin itu lambat laun akan menetralisir suasana hingga akhirnya keluarga korban benar-benar bisa memaafkan pelaku tindak pidana setelah mereka menerima diyat.
               Sampai titik ini, semakin bisa dirasakan bahwa diyat merupakan media syar’i efektif pencegah pertumpahan darah dan penghilang rasa sakit hati atau dendam keluarga korban terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan ataupun penganiayaan.
5. Kaffarah
a. Pengertian kaffarah
               Kata kaffarah merupakan redaksi hiperbolis (sighah mubalaghah) dari kata kufr yang artinya tertutup. Maksudnya, tertutupnya hati seseorang hingga ia berani melakukan pelanggaran terhadap aturan syar’i.
               Sedangkan menurut makna terminologi (istilah) kaffarah adalah denda yang wajib dibayarkan oleh seseorang yang telah melanggar larangan Allah tertentu. Kaffarah merupakan tanda taubat kepada Allah dan penebus dosa.

b. Macam-macam kaffarah
Berikut penjelasan singkat macam-macam kaffarah:
1)   Kaffarah Pembunuhan
Agama Islam sangat melindungi jiwa. Darah tidak boleh ditumpahkan tanpa sebab-sebab yang dilegalkan oleh syariat. Karenanya, seorang yang membunuh orang lain selain dihadapkan pada salah satu dari 2 pilihan yaitu; dibunuh atau membayar diyat, ia juga diwajibkan membayar kaffarah.
Kaffarah bagi pembunuh adalah memerdekakan budak muslim. Jika ia tak mampu melakukannya maka pilihan selanjutnya adalah berpuasa 2 bulan berturut-turut. Hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 92:
...وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَ دِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوْاج فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍصلىوَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيْثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍصلىفَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللهِ...
Artinya : “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (yang terbunuh) dari orang (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Basrang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut – turut untuk penerimaan taubat dari Allah (QS.An – Nisa’ : 92)


2) Kaffarah Dzihar
Dzihar adalah perkataan seorang suami kepada istrinya,”Anti ‘alayya kadhohri ummi” (kau bagiku seperti punggung ibuku). Pada masa jahiliyyah dzihar dianggap sebagai thalaq. Akan tetapi setelah syariah islamiyyah turun, ketetapan hukum dzihar yang berlaku di kalangan masyarakat jahiliyyah dibatalkan. Syariat Islam menegaskan bahwa dzihar bukanlah thalaq, dan pelaku dzihar wajib menunaikan kaffarah dzihar sebelum ia melakukan hubungan biologis dengan istrinya.
Kaffarah seorang suami yang mendzihar istrinya adalah, memerdekakan hamba sahaya. Jika ia tak mampu melakukannya, maka ia beralih pada pilihan kedua yaitu berpuasa 2 bulan berturut-turut. Dan jika ia masih juga tak mampu melakukannya, maka ia mengambil pilihan terakhir yaitu memberikan makan 60 fakir miskin.
3) Kaffarah melakukan hubungan biologis di siang hari pada bulan Ramadhan
Kaffarah yang ditetapkan untuk pasangan suami istri yang melakukan hubungan biologis pada siang hari di bulan Ramadhan sama dengan kaffarah dzihar ditambah qadha sebanyak jumlah hari mereka melakukan hubungan biologis di siang hari bulan Ramadhan.
4) Kaffarah karena melanggar sumpah
Kaffarah bagi seorang yang bersumpah atas nama Allah kemudian ia melanggarnya adalah memberi makan 10 fakir miskin, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak. Jika ketiga hal tersebut tak mampu ia lakukan, maka diwajibkan baginya puasa 3 hari berturut-turut. Dalil naqli terkait hal ini adalah firman Allah ta’ala dalam surat al-Maidah ayat 89.
5) Kaffarah ila’
Ila’ adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan biologis dengan istrinya dalam masa tertentu. Semisal perkataan suami kepada istrinya,”Wallâhi lâ ujâmi’uka” (demi Allah aku tidak akan menggaulimu). Konsekuensi yang muncul karena ila’ adalah suami membayar kaffarah ila’ yang jenisnya sama dengan kaffarah yamîn (kaffarah melanggar sumpah).
6) Kaffarah karena membunuh binantang buruan pada saat berihram.
Kaffarah jenis ini adalah mengganti binatang ternak yang seimbang, atau memberi makan orang miskin, atau berpuasa. Aturan kaffarah ini Allah jelaskan dalam surat al-Maidah ayat 95.
c. Hikmah Kaffarah
Beberapa hikmah pembayaran kafarat sebagai berikut:
1)   Agar manusia dekat dengat Allah swt
2)   Agar terwujud kehidupan yang aman dan terkendali di masyarakat serta dapat terpelihara hak-hak setiap orang.
3)   Agar pelaku jera dan menyesali perbuatannya serta tidak akan mengulanginya
4)   Agar orang yang mau berbuat jahat berfikir untuk tidak berbuat jahat


BAB II
HUDUD

A.  Pengertian Hudud
Hudud adalah bentuk jamak dari kata had yang berarti pembatas antara dua hal.
الْحَدُّ فِى الْأَصْلِ: الشَّيْئُ الْحَاجِزُ بَيْنَ الشَّيْئَيْنِ
Artinya : “Had makna asalnya adalah, sesuatu yang membatasi dua hal.”
      Adapun secara bahasa, arti had adalah pencegahan. Berbagai hukuman perbuatan maksiat dinamakan had karena umumnya hukuman-hukuman tersebut dapat mencegah pelaku maksiat untuk kembali kepada kemaksiatan yang pernah ia lakukan. Hukuman had merupakan media penjera pelaku maksiat hingga ia tak mau mengulangi kemaksiatannya.
      Sedangkan menurut istilah syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman tertentu yang telah ditetapkan Allah sebagai sanksi hukum terhadap pelaku tindak kejahatan selain pembunuhan dan penganiayaan. Tujuan inti dari hudud yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia.
Dalam istilah fiqh, berbagai tindak kejahatan yang diancam dengan hukuman had diistilahkan dengan jaraimul hudud. Macam jaraimul hudud yang senantiasa dikupas dalam berbagai referensi fiqh adalah;
1. Zina
2. Qadhaf (menuduh wanita baik-baik berbuat zina)
3. Mencuri
4. Meminum minuman keras
5. Murtad
6. Bughat
7. Hirabah (mengambil harta orang lain dengan kekerasan / ancaman senjata, dan terkadang diikuti dengan aksi pembunuhan).
Hukuman dalam bentuk had berbeda dengan hukuman dalam bentuk qishash –walaupun sebagian ada yang jenisnya sama-. Karena had merupakan hak Allah Swt sedangkan qishash adalah hak hamba. Had tidak bisa gugur karena dimaafkan oleh pihak yang dirugikan. Sedangkan qishash dapat gugur jika pihak yang dirugikan memaafkan.
1. Zina
a. Pengertian Zina
Zina adalah memasukkan alat kelamin laki – laki ke dalam alat kelamin perempuan yang mendatangkan syahwat, dalam persetubuhan yang haram menurut zat perbuatannya, bukan karena syubhat.
Maksud dari perempuan yang mendatangkan syahwat adalah seorang yang berjenis kelamin perempuan baik yang dewasa (baligh) ataupun yang masih kecil. Dari pengertian ini bisa disimpulkan bahwa persetubuhan dengan hewan ataupun mayat tidak bisa dikategorikan zina. Pelaku tindak keji tersebut tidak terkena had. Walaupun demikian, hakim atau penguasa berhak menta’zirnya (menghukumnya dengan pertimbangan maslahat)  hingga ia jera dan menyadari bahwa perbuatan menyetubuhi hewan ataupun mayat adalah tindakan haram yang harus dihindari.
Adapun maksud dari persetubuhan yang haram menurut zat perbuatannya adalah hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri (hubungan biologis illegal di luar nikah).
Sedangkan maksud dari “bukan karena syubhat” adalah perzinaan yang terjadi bukan karena seorang laki-laki mengira bahwa wanita yang ia setubuhi adalah pasangan yang syah untuknya, seperti istrinya. Jika seorang laki-laki menyetubuhi seorang wanita yang ia kira adalah istrinya, maka had tidak dikenakan untuknya.
b. Status hukum zina
Sudah menjadi ijma’ para ulama’ bahwa zina hukumnya haram dan termasuk salah satu bentuk dosa besar. Allah Swt berfirman :
وَلَا تَقْرَبُوْا الزِّنَاصلى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلًا
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al – Isra’:32)
Keharaman zina juga dijelaskan dalam berbagai riwayat. Diantaranya hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud berikut:
قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ : أَنْ تَجْعَلَ لِلّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ , قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ أَنْ تَقْتٌلَ وَلَدَكَ خَشْيَةً أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ, قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ : أَنْ تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ جَارِكَ
(رواه البخارى ومسلم)
Artinya : “Saya (Abdullah Ibnu Mas’ud) bertanya ; “Ya Rasulullah dosa apakah yang paling besar?” Nabi menjawab : “Engkau menyediakan sekutu bagi Allah Swt, padahal dia menciptakan kamu.” Saya bertanya lagi:”Kemudian (dosa) apalagi?” Nabi menjawab :”Engkau membunuh anakmu karena khawatir jatuh miskin” Saya bertanya lagi: “Kemudian apalagi?” Beliau menjawab : “Engkau berzina dengan istri tetanggamu.” (HR.Bukhari dan Muslim)
c. Dasar penetapan hukum Zina
Had zina dapat dilaksanakan jika tertuduh diyakini benar – benar telah melakukan perzinaan. Untuk itu diperlukan penetapan secara syara’. Rasulullah sangat hati – hati dalam melaksanakan had zina ini. Beliau tidak akan melaksanakan had zina sebelum yakin bahwa tertuduh benar – benar berbuat zina.
Berikut dasar-dasar yang dapat digunakan untuk menetapkan bahwa seseorang telah benar-benar berbuat zina:
1)   Adanya empat orang saksi laki – laki yang adil. Kesaksian mereka harus sama dalam hal tempat, waktu, pelaku dan cara melakukannya. Firman Allah Swt:
وَالَّتِى يَأْتِيْنَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوْا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْصلى...

Artinya : “Dan (terhadap) wanita yang mengerjakan perbuatan keji (berzina) hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya).”(QS.An – Nisa’:15)
2)   Pengakuan pelaku zina, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jabir bin Abdillah r.a. berikut ini:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِاللهِ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ أَتَى رَسُوْلَ اللهِ ص.م.فَحَدَّثَهُ أَنَّهُ قَدْ زَنَى فَشَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ فَأَمَرَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. فَرُجِمَ وَكَانَ قَدْ أُحْصِنَ .(رواه البخاري)

Artinya : “Dari jabir bin Abdullah al – Anshari ra. Bahwa seorang laki – laki dari Bani Aslam datang kepada Rasulullah dan menceritakan bahwa ia telah berzina. Pengakuan ini diucapkan empat kali. Kemudian Rasul menyuruh supaya orang tersebut dirajam dan orang tersebut adalah muhshan.” (HR. Muslim)
Sebagian ulama’ ada yang berpendapat bahwa kehamilan perempuan tanpa suami dapat dijadikan dasar penetapan perbuatan zina. Akan tetapi Jumhurul Ulama’ berpendapat sebaliknya. Kehamilan saja tanpa pengakuan atau kesaksian empat orang yang adil tidak dapat dijadikan dasar penetapan zina.
Had zina dapat dijatuhkan terhadap pelakunya, jika telah terpenuhi syarat – syarat sebagai berikut :
1)   Pelaku zina sudah baligh dan berakal
2)   Perbuatan zina dilakukan tanpa paksaan
3)   Pelaku zina mengetahui bahwa konsekuensi dari perbuatan zina adalah had
4)   Telah diyakini secara syara’ bahwa pelaku tindak zina benar-benar melakukan perbuatan keji tersebut.
d. Macam-macam zina dan hadnya
Dalam kajian Fiqh, zina dibedakan menjadi dua, pertama: zina mukhshon, dan kedua: zina ghairu mukhshon.
1)   Zina mukhshon yaitu perbuatan zina yang dilakukan oleh seorang yang sudah menikah. Ungkapan “seorang yang sudah menikah” mencakup suami, istri, janda, atau duda. Had  (hukuman) yang diberlakukan kepada pezina mukhshon adalah rajam. Tekhnis hukuman rajam yaitu, pelaku zina mukhshon dilempari batu yang berukuran sedang hingga benar-benar mati. Batu yang digunakan tidak boleh terlalu kecil sehingga memperlama proses kematian dan hukuman. Sebagaimana juga tidak dibolehkan merajam dengan batu besar hingga menyebabkan kematian seketika yang dengan itu tujuan “memberikan pelajaran” kepada pezina mukhshon tidak tercapai.
2)   Zina Ghairu mukhshon yaitu zina yang dilakukan oeh seseorang yang belum pernah menikah. Para ahli fiqh sepakat bahwa had (hukuman) bagi pezina ghoiru mukhshon baik laki-laki ataupun perempuan adalah cambukan sebanyak 100 kali.
Adapun hukuman pengasingan (taghrib / nafyun) para ahli fiqh berselisih pendapat.
1)   Imam Syafi’i dan imam Ahmad berpendapat bahwa had bagi pezina ghoiru mukhshon adalah cambukan sebanyak 100 kali dan pengasingan selama 1 tahun.
2)   Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa had bagi pezina ghoiru mukhshon hanya cambukan sebanyak 100 kali. Pengasingan menurut Abu Hanifah hanyalah hukuman tambahan yang kebijakan sepenuhnya dipasrahkan kepada hakim. Jika hakim memutuskan hukuman tambahan tersebut kepada pezina ghoiru mukhshon, maka pengasingan masuk dalam kategori ta’zir bukan had.
3)   Imam Malik dan imam Auza’i berpendapat bahwa had bagi pezina laki-laki merdeka ghoiru mukhshon adalah cambukan sebanyak 100 kali dan pengasingan selama 1 tahun, adapun peziina perempuan merdeka ghoiru mukhshon hadnya hanya cambukan 100 kali. Ia tidak diasingkan karena wanita adalah aurat dan kemungkinan ia dilecehkan di luar wilayahnya sangat besar.
Dalil yang menegaskan bahwa pezina ghoiru mukhshon di kenai had berupa cambukan 100 kali dan pengasingan adalah Firman Allah ta’ala dalam surat an-Nur ayat 2:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِى فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهٌمَامِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَارَأْفَةٌ فِى دِيْنِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمٌؤْمِنِيْنَ (رواه البخاري)
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki – laki yang berzina maka deralah pada tiap-tiap dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada mereka mencegah kamu  untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang – orang yang beriman.” (QS. An – Nur : 2)
Sabda Rasulullah Saw:
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَيني قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ ص.م. يَأْمُرُ فِيْمَنْ زَنَى وَلَمْ يُحْصَنْ جَلْدَ مِائَةٍ وَ تَغْرِيْبَ عَامٍ. (رواه البخاري)
Artinya : “ Dari Zaid bin Khalid Al-Juhaini, dia berkata : “Saya mendengar Nabi menyuruh agar orang yang berzina dan ia bukan muhshan, didera 100 kali dan diasingkan selama satu tahun.”(HR. Bukhari)
e. Hikmah diharamkannya zina
Zina merupakan sumber berbagai tindak kemaksiatan. Diantara hikmah terpenting diharamkannya zina adalah:
1)   Memelihara dan menjaga keturunan dengan baik. Karena anak hasil perzinaan pada umumnya kurang terpelihara dan terjaga.
2)   Menjaga harga diri dan kehormatan manusia.
3)   Menjaga ketertiban dan keteraturan rumah tangga.
4)   Memunculkan rasa kasih sayang terhadap anak yang dilahirkan dari pernikahan syah.
2. Qadzaf
a. Pengertian Qadzaf
Qadhaf secara bahasa memppunyai arti melempar dengan batu atau yang semisalnya (ar-ramyu bil hijarah wa ghairiha). Adapun menurut istilah syar’i qadhaf adalah melempar tuduhan zina kepada seorang yang dikenal baik secara terang-terangan.
b. Hukum Qadzaf
Qadzaf merupakan salah satu dosa besar yang diharamkan syariat Islam. Diantara dalil-dalil yang menegaskan keharaman qadzaf adalah Firman Allah ta’ala dalam an-Nur ayat 23-24:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ .
Artinya : “Sesungguhnya orang – orang yang menuduh wanita yang baik – baik, yang lengah (dari perbuatan keji) lagi beriman (berzina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar” (QS.An – Nur : 23 – 24)
Sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a.:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م. قَالَ : اِجْتَنِبْ السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ قِيْلَ : وَمَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ : الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ.(رواه البخاري ومسلم)
Artinya :”Dari Abu Hurairah ra. Nabi bersabda : “ Jauhilah olehmu tujuh (perkara) yang membinasakan”, Nabi ditanya : “Apa saja perkara itu, ya Rasulullah?” Rasul menjawab : “ Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan jalan yang sah menurut syara’, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari medan perang, dan menuduh zina wanita baik – baik yang tak pernah ingat berbuat keji, lagi beriman.” (H.R. Bukhori Muslim)
c. Had qadzaf
Had (hukuman) bagi pelaku qadzaf adalah cambukan sebanyak 80 kali bagi yang merdeka,  dan cambukan 40 kali bagi budak, karena hukuman budak setengah hukuman orang yang merdeka. Allah Swt berfirman dalam surat an-Nur ayat 4:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءِ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً وَلَاتَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًاجوَأُولئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
Artinya : ”Dan orang – orang yang menuduh wanita yang baik – baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka  (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selamanya. Dan mereka itulah orang – orang yang fasik. (QS. An-Nur : 4)
d. Syarat – syarat berlakunya had qadzaf
Had qadzaf wajib dijatuhkan terhadap penuduh zina jika memenuhi syarat – syarat berikut :
1)   Tertuduh berzina adalah mukhshon. Pengertian mukhshon dalam qadzaf berbeda dengan mukhshon dalam masalah zina. Dalam qadzaf, mukhshon adalah orang baik yang benar-benar tidak berzina. Adapun mukhshon dalam pembahasan zina adalah seorang yang sudah pernah menikah.
2)   Penuduh baligh dan berakal
3)   Tuduhan berzina benar – benar sesuai aturan syara’, dimana saksi dalam kasus qadzaf adalah 2 orang laki-laki adil yang menyatakan bahwa penuduh telah menuduh orang baik-baik berbuat zina atau pengakuan dari penuduh sendiri bahwa dirinya telah menuduh orang baik-baik berbuat zina.
f. Gugurnya had qadzaf
Seorang yang menuduh orang baik-baik berzina bisa terlepas dari had qadzaf jika salah satu dari tiga hal di bawah ini terjadi:
1)   Penuduh dapat menghadirkan empat orang saksi laki – laki adil bahwa tertuduh benar – benar telah berzina.
2)   Li’an (sumpah seorang suami atas nama Allah Swt sebanyak 4 kali), jika suami menuduh istri berzina sedang dirinya tak mampu menghadirkan 4 saksi adil.
3)   Tertuduh memaafkan.
g. Hikmah dilarangnya qadzaf
Efek negatif  yang dimunculkan qadzaf adalah tercemarnya nama baik tertuduh, serta jatuhnya harga diri dan kehormatannya di mata masyarakat. Karenanya, Islam mengharamkan qadzaf dan menetapkan had bagi pelakunya. Diantara hikmah terpenting penetapan had qadzaf adalah:
1)   Menjaga kehormatan diri seseorang di mata masyarakat
2)   Agar seseorang tidak begitu mudah melakukan kebohongan dengan cara menuduh orang lain berbuat zina
3)   Agar si penuduh merasa jera dan sadar dari perbuatannya yang tidak terpuji
4)   Menjaga keharmonisan pergaulan antar sesama anggota masyarakat
5)   Mewujudkan keadilan dikalangan masyarakat berdasarkan hukum yang benar
3. Meminum Minuman  Keras
a. Pengertian Minuman Keras (Khamr)
Dalam bahasa Arab minuman keras disebut khamr. Secara definisi bahasa khamr mempunyai arti penutup akal. Sedangkan menurut istilah syar’i khamr adalah segala jenis minuman atau selainnya yang memabukkan dan menghilangkan fungsi akal.
Berpijak dari definisi syar’i ini, cakupan khamr tidak hanya terkait dengan minuman, akan tetapi segala sesuatu yang dikonsumsi baik makanan atau minuman yang memabukkan dan membuat manusia tidak sadar, semisal ganja, heroin, obat bius dan lain sebagainya bisa disebut khamr. Rasulullah Saw bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ. (رواه مسلم)
Artinya : “Tiap – tiap yang memabukkan disebut khamr, dan tiap – tiap khamr hukumnya haram.”(HR. Muslim)
b. Hukum Minuman Keras
Sudah menjadi ijma’ ulama’ bahwa hukum minuman keras (khamr) haram. Mengkonsumsi minuman keras merupakan dosa besar. Diantara dalil yang menegaskan keharaman minuman keras adalah Firman Allah ta’ala dalam surat al-Maidah ayat 90:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَ الْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Artinya : “Hai orang – orang yang beriman, sesungguhnya (minuman) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan – perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS. Al – Maidah : 90)
Sabda Rasulullah Saw:
عَنْ عَبْدِالله بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ الله ص.م. قَالَ : مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِى الدُّنْيَا ثُمَّ لَمْ يَتُبْ مِنْهَا حَرَّمَهَا فِى الْأَخِرَةِ (رواه مسلم)

Artinya : ” Dari Abdullah bin Umar, Rasullah bersabda : “Barang siapa meminum khamr di dunia dan ia tidak bertaubat maka (Allah) mengharamkannya di akhirat”(HR. Bukhari)
c. Had Minuman Keras
Sebagaimana ulama’ telah sepakat akan haramnya minuman keras, mereka juga sepakat bahwa orang yang meminumnya wajib dikenai hukuman (had), baik ia mengkonsumsi sedikit atau banyak. Landasan syar’i terkait hal ini adalah Sabda Rasulullah Saw:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ر.ض. أَنَّ النَّبِيَّ أُتِيَ بِرَجُلٍ شَرِبَ الْخَمْرَ فَجَلَدَهُ بِجَرِيْدَتَيْنِ نَحْوَ أَرْبَعِيْنَ.(متفق عليه)
Artinya : ”Dari Anas bin Malik ra, dihadapkan kepada Nabi saw seorang yang telah minum minuman keras, kemudian beliau menjilidnya dengan dua tangkai pelepah kurma kira – kira 40 kali.” (Muttafiq Alaih)
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah pukulan bagi peminum khamr. Berikut ringkasan khilaf (perbedaan pendapat) mereka:
1)   Jumhurul ulama’ (mayoritas ulama) diantaranya Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa jumlah pukulan dalam had minuman keras 80 kali. Alasan mereka, bahwa para sahabat di zaman umar bin khatthab pernah bermusyawarah untuk menetapkan seringan-ringannya hukuman had. Kemudian mereka bersepakat bahwa jumlah minimal had adalah pukulan sebanyak 80 kali. Dari kesepakatan inilah, selanjutnya Umar menetapkan bahwa had bagi peminum khamr adalah pukulan sebanyak 80 kali.
2)   Imam syafi’i, Abu Daud dan ulama’ Dzahiriyyah berpendapat bahwa jumlah had minuman keras adalah 40 kali, tetapi imam/hakim boleh menambahkannya sampai 80 kali. Tambahan 40 kali merupakan ta’zir yang merupakan hak imam/hakim.

Alat pukul yang digunakan untuk menghukum peminum khmar bisa berupa sepotong kayu, sandal, sepatu, tongkat, tangan, atau alat pukul lainnya.

d. Hikmah diharamkannya minuman keras
Diantara hikmah terpenting diharamkannya minuman keras adalah:
1)   Masyarakat terhindar dari kejahatan seseorang yang diakibatkan pengaruh minuman keras. Peminum minuman keras yang sudah sampai level “pecandu” tidak akan mampu menghindar dari tindak kejahatan/kemaksiatan. Karena minuman keras merupakan induk segala macam bentuk kejahatan. Maka, ketika minuman keras diharamkan dan kebiasaan meminumnya bisa dihilangkan, secara otomatis berbagai tindak kejahatan akan sirna, atau paling minimal menurun drastis.
2)   Menjaga kesehatan jasmani dan rohani dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh pengaruh minuman keras seperti busung lapar, hilang ingatan, atau berbagai penyakit berbahaya lainnya.
3)   Masyarakat terhindar dari siksa kebencian dan permusuhan yang diakibatkan oleh pengaruh minuman keras. Sebagaimana maklum adanya, minuman keras selain mengakibatkan berbagai macam penyakit juga menjadikan mental pecandunya tidak stabil. Pecandu minuman keras akan mudah tersinggung dan salah paham hingga dirinya akan selalu diselimuti kebencian dan permusuhan.
4)   Menjaga hati agar tetap bersih, jernih, dan dekat kepada Allah ta’ala. Karena minuman keras akan mengganggu kestabilan jasmani dan rohani. Hati pecandu minuman keras hari demi hari akan semakin jauh dari Allah. Hatinya menjadi gelap, keras hingga ia tak sungkan-sungkan melakukan pelanggar terhadap aturan syar’i.





5. Mencuri
a. Pengertian Mencuri
Secara arti bahasa mencuri adalah mengambil harta atau selainnya secara sembunyi-sembunyi. Dari arti bahasa ini muncul ungkapan “fulân istaroqo as-sam’a wa an-nadhoro” (Fulan mencuri pendengaran atau penglihatan).
Sedangkan menurut istilah syara’ mencuri adalah,
هِيَ أَخْذُ الْمُكَلَّفِ – أَيْ الْبَالِغِ الْعَاقِلِ – مَالَ الْغَيْرِ خَفْيَةً إِذَا بَالَغَ نِصَابًا مِنْ حِرْزٍ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ شُبْهَةٌ فِى هَذَا الْمَالِ الْمَأْخُوْذِ
Artinya : “Mukallaf yang mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi,  jika harta tersebut mencapai satu nishab, terambil dari tempat simpanannya, dan orang yang mengambil tidak mempunyai andil kepemilikan terhadap harta tersebut.”
Berpijak dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa praktik pencurian yang pelakunya diancam dengan hukuman had memiliki beberapa syarat berikut ini:
1)   Pelaku pencurian adalah mukallaf
2)   Barang yang dicuri milik orang lain
3)   Pencurian dilakukan dengan cara diam – diam atau sembunyi – sembunyi
4)   Barang yang dicuri disimpan di tempat penyimpanan
5)   Pencuri tidak memiliki andil kepemilikan terhadap barang yang dicuri. Jika pencuri memiliki andil kepemilikan seperti orang tua yang mencuri harta anaknya maka orang tua tersebut tidak dikenai hukuman had, walaupun ia mengambil barang anaknya yang melebihi nishab pencurian.
6)   Barang yang dicuri mencapai jumlah satu nisab
Praktik pencurian yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas pelakunya tidak dikenai had. Pun demikian, hakim berhak menjatuhkan hukuman ta’zir kepadanya.
b. Pembuktian praktik pencurian
Disamping syarat – syarat di atas, had mencuri tidak dapat dijatuhkan sebelum tertuduh praktik pencurian benar-benar diyakini –secara syara’- telah melakukan pencurian yang mengharuskannya dikenai had. Tertuduh harus dapat dibuktikan melalui salah satu dari tiga kemungkinan berikut:
1)   Kesaksian dari dua orang saksi yang adil dan merdeka
2)   Pengakuan dari pelaku pencurian itu sendiri
3)   Sumpah dari penuduh.
Jika terdakwa pelaku pencurian menolak tuduhan tanpa disertai sumpah, maka hak sumpah berpindah kepada penuduh. Dalam situasi semisal ini, jika penuduh berani bersumpah, maka tuduhannya diterima dan secara hukum tertuduh terbukti melakukan pencurian
c. Had Mencuri
Jika praktik pencurian telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dijelaskan di atas, maka pelakunya wajib dikenakan had mencuri, yaitu potong tangan. Allah Swt berfirman dalam surat al-Maidah ayat 38:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا  كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya : “Laki – laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah kedua tangannya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS.Al Maidah : 38)
Ayat di atas menjelaskan had pencurian secara umum. Adapun tekhnis pelaksanaan had pencurian yang lebih detail dijelaskan dalam hadits Rasulullah berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ ص.م. قَالَ فِى السَّارِقِ إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا يَدَهُ ثُمَّ إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا رِجْلَهُ إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا يَدَهُ ثُمَّ إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا رِجْلَهُ (رواه الشافعي)
Artinya : “Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah bersabda mengenai pencuri : “jika ia mencuri (kali pertama) potonglah satu tangannya, kemudian jika ia mencuri (kali kedua) potonglah salah satu kakinya, jika ia mencuri (kali ketiga) potonglah tangannya (yang lain), kemudian jika ia mencuri (kali keempat) potonglah kakinya (yang lain).
Bersandar pada hadits tersebut sebagian ulama diantaranya imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat bahwa had mencuri mengikuti urutan sebagaimana berikut:
1)   Potong tangan kanan jika pencurian baru dilakukan pertama kali
2)   Potong kaki kiri jika pencurian dilakukan untuk kali kedua
3)   Potong tangan kiri jika pencurian dilakukan untuk kali ketiga
4)   Potong kaki kanan jika pencurian dilakukan untuk kali keempat
5)   Jika pencurian dilakukan untuk kelima kalinya maka hukuman bagi pencuri adalah ta’zir dan ia dipenjarakan hingga bertaubat.
Sebagian ulama’ lain diantaranya Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa hukuman potong tangan dan kaki hanya berlaku sampai pencurian kedua, yakni potong tangan kanan untuk pencurian pertama dan potong kaki kiri untuk pencurian kedua, sedangkan untuk pencurian ketiga dan seterusnya hukumannya adalah ta’zir.
d. Nisab (kadar) barang yang dicuri.
Para ulama berbeda pendapat terkait nisab (kadar minimal) barang yang dicuri.
1)   Menurut madzhab hanafi nishab barang curian adalah 10 dirham
2)   Menurut jumhur ulama nishab barang curian adalah ¼ dinar emas, atau tiga dirham perak.
Dalil yang dijadikan sandaran jumhur ulama terkait penetapan had nishab ¼ dinar emas atau tiga dirham perak adalah Hadits yang diriwayatkan imam Muslim dalam kitab shahihnya dan imam Ahmad dalam kitab musnadnya, dimana Rasulullah Saw bersabda:
لَا تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِى رُبْعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا
Artinya: “Tidak dipotong tangan seorang pencuri kecuali jika ia mencuri sebanyak ¼ dinar atau lebih”
Dan dalam riwayat imam Bukhori dengan lafadz:
تُقْطَعُ الْيَدُ فِى رُبْعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا
Artinya:”Tangan dipotong (pada pencurian) ¼ dinar atau lebih.”
Adapun tentang harga dinar atau dirham selalu berubah-ubah. Satu dinar emas diperkirakan seharga 10-12 dirham. Jika dihargakan dengan emas, satu dinar setara dengan 13,36 gram emas. Jadi diperkirakan nishab barang curian adalah 3,34 gram emas (1/4 dinar).
e. Pencuri yang dimaafkan
Ulama’ sepakat bahwa pemilik barang yang dicuri dapat memaafkan  pencurinya, sehingga pencuri bebas dari had sebelum perkaranya sampai ke pengadilan. Karena had pencuri merupakan hak hamba (hak pemilik barang yang dicuri).
Jika perkaranya sudah sampai ke pengadilan, maka had pencuri pindah dari hak hamba ke hak Allah. Dalam situasi semisal ini, had tersebut tidak dapat gugur walaupun pemilik barang yang dicuri memaafkan pencuri.
Teks syar’i yang menjelaskan tentang masalah tersebut adalah, hadits riwayat Abu Dawud dan Nasa’i berikut:
رَوَي عَمْرُوْ بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م. قَالَ: تَعَافُوْا الْحُدُوْدَ فِيْمَا بَيْنَكُمْ فَمَا بَلَغَنِيْ مِنْ حَدٍّ فَقَدْ وَجَبَ (رواه أبوا داود والنّسائي)
Artinya :” Diriwayatkan dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya: “Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : “ Maafkanlah had selama masih berada ditanganmu, adapun had yang sudah sampai kepadaku, maka wajib dilaksanakan.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
f. Hikmah had bagi pencuri
Adapun hikmah dari had mencuri antara lain sebagai berikut :
1)   Seseorang tidak akan dengan mudah mengambil barang orang lain karena hal tersebut akan memunculkan efek ganda. Ia akan menerima sanksi moral yaitu malu, sekaligus mendapatkan sanksi yang merupakan hak adam yaitu had.
2)   Seseorang akan memahami betapa hukum Islam benar-benar melindungi hak milik seseorang. Karunia Allah terkait harta manusia bukan hanya dari sisi jumlahnya, lebih dari itu, saat harta tersebut telah dimiliki secara syah melalui jalur halal, maka ia akan mendapatkan jaminan perlindungan.
3)   Menghindarkan manusia dari sikap malas. Mencuri selain merupakan cara singkat memiliki sesuatu secara tidak syah, juga merupakan perbuatan tidak terpuji yang akan memunculkan sifat malas. Sifat ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
4)   Membuat jera pencuri hingga dirinya terdorong untuk mencari rizki yang halal.
6. Penyamun, Perampok, Dan Perompak
a. Pengertian penyamun, perampok, dan perompak
Penyamun, perampok, dan perompak adalah istilah yang digunakan untuk pengertian “mengambil harta orang lain dengan menggunakan jalur kekerasan atau mengancamnya dengan senjata dan terkadang disertai dengan pembunuhan”. Perbedaannya hanya ada pada tempat kejadiannya;
1)   menyamun dan merampok di darat
2)   sedangkan merompak di laut
Dalam kajian fiqh, praktik menyamun, merampok, atau merompak masuk dalam pembahasan hirâbah atau qat’ut tharîq (penghadangan di jalan).
b. Hukum penyamun, perampok, dan perompak
Seperti diketahui merampok, menyamun dan merompak merupakan kejahatan yang bersifat mengancam harta dan jiwa. Kala seseorang merampas harta orang lain, dosanya bisa lebih besar dari dosa seorang pencuri. Karena dalam praktik perampasan harta ada unsur kekerasan.
Dan jika perampas harta sampai membunuh korbannya, maka dosanya menjadi lebih besar lagi, karena ia telah melakukan perbuatan dosa besar yang jelas-jelas diharamkan agama.
Maka wajar adanya, jika perampok, penyamun, dan perompak mendapatkan hukuman ganda. Ia dikenai had, dan diancam hukuman akhirat yang berupa adzab dahsyat. Allah Swt berfirman:
... وَلَهُمْ فِى الْأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Artinya : “ … dan di akhirat mereka ( para penyamun) beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al – Maidah : 33)
c. Had perampok, penyamun, dan perompak
Had perampok, penyamun, dan perompak secara tegas dinyatakan dalam al-Qur’an, surat al-Maidah ayat 33:
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فِى الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقْتَلُوْا أَوْ يُصَلَّبُوْا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيْهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْيَا وَ لَهُمْ فِى الْأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Artinya : “ Sesungguhnya pembalasan terhadap orang – orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik (secara silang) atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar…” ( QS. Al – Maidah :33)
Dari ayat di atas para ulama sepakat bahwa had perampok, penyamun, dan perompak berupa : potong tangan dan kaki secara menyilang, disalib, dibunuh dan diasingkan dari tempat kediamannya.
Kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai had yang disebutkan dalam ayat tersebut, apakah ia bersifat tauzî’î dimana satu hukuman disesuaikan dengan perbuatan yang dilakukan seseorang, atau had tersebut bersifat takhyîrî sehingga seorang hakim bisa memilih salah satu dari beberapa pilihan hukuman yang ada.
Jumhurul ulama’ sepakat bahwa hukuman yang dimaksudkan dalam surat al-Maidah ayat 33 bersifat tauzî’î. Karenanya, had dijatuhkan sesuai dengan kadar kejahatan yang dilakukan seseorang. Berikut simpulan akhir pendapat mayoritas ulama terkait had yang ditetapkan untuk perampok, penyamun, dan perompak:
1)      Jika seseorang merampas harta orang lain dan membunuhnya maka hadnya adalah dihukum mati kemudian disalib.
2)      Jika seseorang tidak sempat merampas harta orang lain akan tetapi ia membunuhnya maka hadnya adalah dihukum mati.
3)      Jika seseorang merampas harta orang lain dan tidak membunuhnya maka hadnya adalah dihukum potong tangan dan kaki secara menyilang.
4)      Jika seseorang tidak merampas harta orang lain dan tidak juga membunuhnya semisal kala ia hanya ingin menakut-nakuti, atau kala ia akan melancarkan aksi jahatnya ia tertangkap lebih dulu, dalam keadaan seperti ini, ia dijatuhi hukuman had dengan dipenjarakan atau diasingkan ke luar wilayahnya.
Perlu dijelaskan bahwa hukuman mati terhadap perampok, penyamun, dan perompak yang membunuh korbannya berdasarkan had bukan qishash, sehingga tidak dapat gugur walaupun dimaafkan oleh keluarga korban
Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa had perampok, penyamun, perompak yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 33 bersifat takhyiri hingga hakim boleh memilih salah satu jenis hukuman yang disebutkan dalam ayat tersebut.
d. Perampok, penyamun, dan perompak yang taubat
Taubatnya perampok, penyamun, dan perompak setelah tertangkap tidak dapat mengubah sedikitpun ketentuan hukum yang ada padanya. Namun jika mereka bertaubat sebelum tertangkap, semisal menyerahkan diri dan menyatakan taubat dengan kesadaran sendiri, maka gugurlah had. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt :
إِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوْا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
Artinya :” Kecuali orang – orang yang taubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka, maka ketahuilah bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Al – Maidah : 34)
Diisyaratkan dalam ayat tersebut bahwa Allah Swt akan mengampuni mereka (perampok, penyamun, perompak) yang bertaubat sebelum tertangkap. Ayat ini menunjukkan bahwa had yang merupakan hak Allah dapat gugur, jika yang bersangkutan bertaubat sebelum tertangkap.
e. Hikmah pengharaman merampok, menyamun dan merompak
Prinsipnya, hikmah pengharaman merampok, menyamun, dan merompak sama dengan hikmah pengharaman mencuri
7. Bughat (Pembangkang)
a. Pengertian bughat
Kata بُغَاةٌ  adalah jamak dari isim fail بَاغٍ. Akar katanya بَغَى - يَبْغِي  yang berarti : mencari, dan dapat pula berarti maksiat, melampaui batas, berpaling dari kebenaran, dan dzalim.
Adapun bughat dalam pengertian syara’ adalah orang-orang yang menentang                                                          atau memberontak pemimpin Islam yang terpilih secara syah. Tindakan yang dilakukan bughat bisa berupa memisahkan diri dari pemerintahan yang syah, membangkang perintah pemimpin, atau menolak berbagai kewajiban yang dibebankan kepada mereka.

Seorang baru bisa dikategorikan sebagai bughat dan dikenai had bughat jika beberapa kriteria ini melekat pada diri mereka:
1)      Memiliki kekuatan, baik berupa pengikut maupun senjata. Dari kriteria ini bisa disimpulkan bahwa penentang imam yang tak memiliki kekuatan dan senjata tidak bisa dikategorikan sebagai bughat.
2)       Memiliki takwil (alasan) atas tindakan mereka keluar dari kepemimpinan imam atau tindakan mereka menolak kewajiban.
3)      Memiliki pengikut yang setia kepada mereka
4)      Memiliki imam yang ditaati.
b. Tindakan hukum terhadap bughat
Para bughat harus diusahakan sedemikian rupa agar sadar atas kesalahan yang mereka lakukan, hingga akhirnya mau kembali taat kepada imam dan melaksanakan kewajiban mereka sebagai warga negara. Proses penyadaran kepada mereka harus dimulai dengan cara yang paling halus. Jika cara tersebut tidak berhasil maka boleh digunakan cara yang lebih tegas. Dan jika cara tersebut masih juga belum berhasil, maka digunakan cara yang paling tegas.
Berikut urutan tindakan hukum terhadap bughat sesuai ketentuan fiqh Islam:
1)      Mengirim utusan kepada mereka agar diketahui sebab–sebab pemberontakan yang mereka lakukan. Apabila  sebab – sebab itu karena ketidaktahuan mereka atau keraguan mereka, maka mereka harus diyakinkan hingga ketidak tahuan atau keraguan itu hilang.
2)      Apabila tindakan pertama tidak berhasil, maka tindakan selanjutnya adalah menasehati dan mengajak mereka agar mau mentaati imam yang sah.
3)      Jika usaha kedua tidak berhasil maka usaha selanjutnya adalah memberi ultimatum atau ancaman bahwa mereka  akan diperangi. Jika setelah munculnya ultimatum itu mereka meminta waktu, maka harus diteliti terlebih dahulu apakah waktu yang diminta tersebut akan digunakan untuk memikirkan kembali pendapat mereka, atau sekedar untuk mengulur waktu. Jika ada indikasi jelas bahwa mereka meminta penguluran waktu untuk merenungkan pendapat-pendapat mereka, maka mereka diberi kesempatan, akan tetapi sebaliknya, jika didapati indikasi bahwa mereka meminta penguluran waktu hanya untuk mengulur-ulur waktu maka mereka tak diberi kesempatan untuk itu.
4)      Jika mereka tetap tidak mau taat, maka tindakan terakhir adalah diperangi sampai mereka sadar dan taat kembali.
c. Status Hukum Pembangkang
Kalangan bughat tidak dihukumi kafir. Allah sampaikan hal ini dalam firman-nya pada surat  al-Hujurat ayat 9:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اِقْتَتَلُوْا فَأَصْلِحُوْا...
Artinya : “ Dan jika dua golongan dari orang – orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.”(Q.S. al-Hujurat: 4)
Pembangkang yang taubat, taubatnya diterima dan ia tidak boleh dibunuh. Oleh sebab itu, para bughat yang tertawan tidak boleh diperlakukan secara sadis, lebih-lebih dibunuh. Mereka cukup ditahan saja hingga sadar.
Adapun harta mereka yang terampas tidak boleh disamakan dengan ghanimah. Karena setelah mereka sadar, harta tersebut kembali menjadi harta mereka. Bahkan jika didapati kalangan bughat yang terluka saat perang, mereka tidak boleh serta merta dibunuh. Terkait hal ini Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa kala terjdi perang Jamal, Ali menyuruh agar diserukan: “Yang telah mengundurkan diri jangan dikejar, yang luka-luka jangan segera dimatikan, yang tertangkap jangan dibunuh, dan barang siapa yang meletakkan senjatanya harus diamankan.”









BAB III
PERADILAN DALAM ISLAM
  A.     Peradilan
1.      Pengertian peradilan
Peradilan dalam pembahasan fiqh diistilahkan dengan qodho’ ( قَضَاءٌ) . Istilah tersebut diambil dari kata قَضَى – يَقْضِى yang memiliki arti memutuskan, menyempurnakan, menetapkan. Adapun secara makna terminologi peradilan adalah suatu lembaga pemerintah atau negara yang ditugaskan untuk menyelesaikan atau menetapkan keputusan perkara dengan adil berdasarkan hukum yang berlaku.
Tempat untuk mengadili perkara disebut pengadilan. Dan orang yang bertugas mengadili perkara disebut qadhi atau hakim. Dengan demikian hukum yang dijadikan dasar peradilan Islam adalah hukum Islam.
2.      Fungsi peradilan
Sebagai lembaga negara yang ditugasi untuk memutuskan setiap perkara dengan adil, maka peradilan harus memainkan fungsinya dengan baik. Diantara fungsi terpenting peradilan adalah:
a.       Menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat.
b.      Mewujudkan keadilan yang menyeluruh bagi seluruh lapisan masyarakat.
c.       Melindungi jiwa, harta, dan kehormatan masyarakat.
d.      Mengaplikasikan nilai-nilai amar makruf  nahi munkar, dengan menyampaikan hak kepada siapapun yang berhak menerimanya dan menghalangi orang-orang dzalim dari tindak aniaya yang akan mereka lakukan.
3.      Hikmah peradilan
Sesuai dengan fungsi dan tujuan peradilan sebagaimana dijelaskan di atas, maka dengan adanya lembaga peradilan akan diperoleh hikmah yang sangat besar  bagi kehidupan umat, yaitu:
a.       Terwujudnya masyarakat yang bersih, karena setiap orang terlindungi haknya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah dimana beliau Saw menjelaskan bahwa satu masyarakat tidak dinilai bersih, jika hak orang-orang yang lemah diambil orang-orang yang kuat.
b.      Terciptanya aparatur pemerintahan yang bersih dan berwibawa, karena masyarakat telah menjelma menjadi masyarakat bersih.
c.       Terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat. Artinya setiap hak – hak orang dihargai dan dilindungi. Allah SWT berfirman :
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ
Artinya : “ (Allah menyuruh kamu) apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaklah kamu (menetapkan) hukum itu dengan adil (QS.An Nisa’: 58)
d.      Terciptanya ketentraman, kedamaian, dan keamanan dalam masyarakat.
e.       Dapat mewujudkan suasana yang mendorong untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT bagi semua pihak. Allah Swt berfirman :
اِعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
Artinya : “ Berlaku adillah kamu sekalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.”(QS. Al – Maidah : 8)
B. Hakim
1.    Pengertian Hakim
Hakim adalah orang yang diangkat pemerintah untuk menyelesaikan persengketaan dan memutuskan hukum suatu perkara dengan adil. Dengan kata lain hakim adalah orang yang bertugas untuk mengadili. Ia mempunyai kedudukan yang terhormat selama ia berlaku adil. Terkait dengan kedudukan hakim, Rasulullah menjelaskan dalam salah satu sabda beliau yang diriwayatkan oleh imam Baihaqi:
إِذَا جَلَسَ الْقَاضِي فِى مَكَانِهِ هَبَطَ عَلَيْهِ مَلَكَانِ يُسَدِّدَانِهِ وَ يُوَفِّقَانِهِ وَ يُرْشِدَانِهِ مَا لَمْ يَجِرْ فَإِذَا جَارَ عَرَجَا َتَرَكَاهُ (رواه البيهقي)
Artinya : “Apabila hakim duduk ditempatnya (sesuai dengan kedudukan hakim adil) maka dua malaikat membenarkan, menolong dan menunjukkannya selama tidak menyeleweng. Apabila menyeleweng maka kedua malaikat akan meninggalkannya. (H.R. Baihaqi)
2.    Syarat – syarat Hakim
Karena mulianya tugas seorang hakim dan beratnya tanggung jawab yang dipikulkan di atas pundaknya demi terwujudnya keadilan, maka seorang hakim harus memenuhi beberapa kriteria berikut:
a.       Beragama Islam. Karena permasalahan yang terkait dengan hukum Islam tidak bisa dipasrahkan kepada hakim non muslim.
b.      Aqil baligh sehingga bisa membedakan antara yang hak dan yang bathil
c.       Sehat jasmani dan rohani
d.      Merdeka (bukan hamba sahaya). Karena hamba sahaya tidak mempunyai kekuasaan pada dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain.
e.       Berlaku adil sesuai dengan prinsip – prinsip keadilan dan kebenaran
f.       Laki – laki (bukan perempuan).
g.      Memahami hukum dalam Al Qur’an dan Sunnah
h.      Memahami ijma’ ulama serta perbedaan perbedaan tradisi umat
i.        Memahami bahasa Arab dengan baik, karena berbagai perangkat yang dibutuhkan untuk memutuskan hukum mayoritas berbahasa Arab.
j.        Mampu berijtihad dan menguasai metode ijtihad, karena tak diperbolehkan baginya taqlid.
k.      Seorang hakim harus dapat mendengarkan dengan baik, karena seorang yang                                    tuli tidak bisa mendengarkan perkataan atau pengaduan dua belah pihak yang bersengketa.
l.        Seorang hakim harus dapat melihat. Karena orang yang buta tidak bisa mendeteksi siapa yang mendakwa dan siapa yang terdakwa.
m.    Seorang hakim harus mengenal baca tulis.
n.      Seorang hakim harus memiliki ingatan yang kuat dan dapat berbicara dengan jelas, karena orang yang bisu tidak mungkin menerangkan keputusan, dan seandainyapun ia menggunakan isyarat, tidak semua orang bisa memahami isyaratnya.
3.    Macam – macam hakim dan konsekuensinya
Profesi hakim merupakan profesi yang sangat mulia. Kemuliaannya karena tanggung jawabnya yang begitu berat untuk senantiasa berlaku adil dalam memutuskan segala macam permasalahan. Ia tidak boleh memiliki tendensi kepada salah satu pendakwa atau terdakwa. Jika ia melakukan tindak kedzaliman kala menetapkan perkara maka ancaman hukuman neraka telah menantinya.
Simpulannya, kompensasi yang akan didapatkan oleh seorang hakim yang adil adalah syurga Allah ta’ala. Sebaliknya, hakim yang dzalim akan mendapatkan kesudahan yang buruk dimana ia akan distatuskan sebagai ahlunnâr (penghuni neraka).

4.    Tata cara menentukan hukuman
Orang yang mendakwa diberikan kesempatan secukupnya untuk menyampaikan tuduhannya sampai selesai. Sementara itu terdakwa (tertuduh) diminta untuk mendengarkan dan memperhatikan tuduhannya dengan sebaik – baiknya sehingga apabila tuduhan sudah selesai, terdakwa bisa menilai benar tidaknya tuduhan tersebut. Sebelum dakwaan atau tuduhan selesai disampaikan, hakim tidak boleh bertanya kepada pendakwa, sebab dikhwatirkan akan memberikan pengaruh positif atau negatif kepada terdakwa.
Setelah pendakwa selesai menyampaikan tuduhannya, hakim harus mengecek tuduhan – tuduhan tersebut dengan beberapa pertanyaan yang dianggap penting. Selanjutnya, tuduhan tersebut harus dilengkapi dengan bukti – bukti yang benar. Jika terdakwa menolak dakwaan yang ditujukan kepadanya, maka ia harus bersumpah bahwa dakwaan tersebut salah. Rasulullah sampaikan  hal ini dalam salah satu sabda beliau:
الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِى وَالْيَمِيْنُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ (رواه البيهقي)
Artinya: “Pendakwa harus menunjukkan bukti-bukti dan terdakwa harus bersumpah “(HR Baihaqi)
Jika pendakwa menunjukkan bukti-bukti yang benar maka hakim harus memutuskan sesuai dengan tuduhan, meskipun terdakwa menolak dakwaan tersebut. Sebaliknya, jika terdakwa mampu mementahkan bukti-bukti pendakwa dan menegaskan bahwa bukti-bukti itu salah, maka hakim harus menerima sumpah terdakwa dan membenarkannya. Kemudian yang perlu diperhatikan juga, bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan vonis hukuman dalam beberapa keadaan berikut:
a.       Saat marah
b.      Saat lapar
c.       Saat kondisi fisiknya tidak stabil karena banyak terjaga (begadang)
d.      Saat sedih
e.       Saat sangat gembira
f.       Saat sakit
g.      Saat sangat ngantuk
h.      Saat sedang menolak keburukan yang tertimpakan padanya
i.        Saat merasakan kondisi sangat panas atau sangat dingin
Kesembilan keadaan inilah yang menyebabkan ijtihad hakim tidak maksimal. Karenanya, hakim dilarang memutuskan perkara dalam keadaan-keadaan tersebut. Ia dituntut untuk senantiasa menggulirkan berbagai keputusan seadil-adilnya dan seobyektif mungkin.
5.    Kedudukan Hakim Wanita
Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali tidak membolehkan pengangkatan hakim wanita. Dasar mereka adalah sabda Rasulullah yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a. berikut:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً (رواه البخاري)
Artinya :” Tidak akan berbahagia (mendapatkan kesudahan yang baik) suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan (HR. Bukhari)
Sedangkan Imam Hanafi membolehkan pengangkatan hakim wanita untuk menyelesaikan segala urusan kecuali urusan had dan qishash. Bahkan Ibnu Jarir ath- Thabari membolehkan pengangkatan hakim wanita untuk segala urusan seperti halnya hakim pria.Menurut beliau, ketika wanita dibolehkan memberikan fatwa dalam segala macam hal, maka ia juga mendapatkan keleluasaan untuk menjadi hakim dan memutuskan perkara apapun.
C. Saksi
1.    Pengertian Saksi
Saksi adalah orang yang diperlukan pengadilan untuk memberikan keterangan yang berkaitan dengan suatu perkara, demi tegaknya hukum dan tercapainya keadilan dalam pengadilan.
Tidak dibolehkan bagi saksi memberikan keterangan palsu. Ia harus jujur dalam memberikan kesaksiannya. Karena itu, seorang saksi harus terpelihara dari pengaruh atau tekanan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam sidang  peradilan.
Pada dasarnya saksi dihadirkan agar proses penetapan hukum dapat berjalan maksimal. Saksi diharapkan dapat memberikan kesaksian yang sebenarnya, sehingga para hakim dapat mengadili terdakwa sesuai dengan bukti-bukti yang ada, termasuk keterangan dari para saksi. Sampai titik ini kita bisa memahami bahwa saksi juga merupakan salah satu alat bukti disamping bukti-bukti yang lain.
2.   Syarat – syarat Menjadi Saksi
a.    Islam.
b.    Sudah dewasa atau baligh sehingga dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil.
c.    Berakal sehat.
d.   Merdeka (bukan seorang hamba sahaya).
e.    Adil. Sebagaimana firman  Allah dalam surat at-Thalaq ayat 2:
وَأَشْهِدُوْا ذَوَى عَدْلٍ مِنْكُمْ
Artinya : “ Dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil diantara kamu ( QS. At Thalaq : 2 )
   Untuk dapat dikatakan sebagai orang yang adil, saksi harus memiliki kriteria – kriteria sebagai berikut :
a.    Menjauhkan diri dari perbuatan dosa besar.
b.    Menjauhkan diri dari perbuatan dosa kecil
c.    Menjauhkan diri dari perbuatan bid’ah
d.   Dapat mengendalikan diri dan jujur saat marah
e.    Berakhlak mulia
            Mengajukan kesaksian secara suka rela tanpa diminta oleh orang yang terlibat dalam suatu perkara termasuk akhlak terpuji dalam Islam. Kesaksian yang demikian ini merupakan kesaksian murni yang belum dipengaruhi oleh persoalan lain. Rasulullah bersabda :

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ شُهَدَاءَ هُوَ الَّذِي يَأْتِي بِالشَّهَادَةِ قَبْلَ أَنْ يَسْأَلَهَا (رواه مسلم)
Artinya : “Maukah kalian aku beritahu tentang sebaik-baik saksi? ia adalah orang yang menyampaikan kesaksiannya sebelum diminta (HR. Muslim)
3.    Saksi yang ditolak
jika saksi tidak memberikan keterangan yang sebenarnya, maka kesaksiannya harus ditolak. Kriteria saksi yang ditolak kesaksiannya adalah:    
a.    Saksi yang tidak adil.
b.    Saksi seorang musuh kepada musuhnya.
c.    Saksi seorang ayah kepada anaknya.
d.   Saksi seorang anak kepada ayahnya.
e.    Saksi orang yang menumpang di rumah terdakwa
D. Penggugat Dan Bukti (Bayyinah)
1.    Penggugat
Materi yang dipersoalkan oleh kedua belah pihak yang terlibat perkara, dalam proses peradilan disebut gugatan. Sedangkan penggugat adalah orang yang mengajukan gugatan karena merasa dirugikan oleh pihak tergugat (orang yang digugat)
Penggugat dalam mengajukan gugatannya harus dapat membuktikan kebenaran gugatannya dengan menyertakan bukti – bukti yang akurat, saksi – saksi yang adil atau dengan melakukan sumpah. Ucapan sumpah dapat diucapkan dengan kalimat semisal: “Apabila gugatan saya ini tidak benar, maka Allah akan melaknat saya”.
Ketiga hal tersebut (penyertaan bukti-bukti yang akurat, saksi-saksi yang adil, dan sumpah) merupakan syarat diajukannya sebuah gugatan.
2.    Bukti (Bayyinah)
a.    Pengertian bukti ( bayyinah)
Barang bukti adalah segala sesuatu yang ditunjukkan oleh penggugat untuk memperkuat kebenaran dakwaannya. Bukti – bukti tersebut dapat berupa surat – surat resmi, dokumen, dan barang – barang lain yang dapat memperjelas masalah terhadap terdakwa.
Terkait dengan hal ini Rasulullah Saw bersabda:
عن جابر أن رجلين اختصما في ناقة، فقال كل واحد منهما : نتجت هذه الناقة عندى واقام بيّنة فقضى بها رسول الله ص.م. لمن هي في يده
Artinya : “ Dari Jabir bahwasannya ada dua orang yang bersengketa tentang seekor unta betina masing – masing orang diantara keduanya mengatakan : “ Peranakan unta ini milikku” dan ia mengajukan bukti. Maka Rasulullah saw memutuskan bahwa unta ini miliknya.
b.      Terdakwa yang tidak hadir dalam persidangan.
Terdakwa yang tidak hadir dalam persidangan harus terlebih dahulu dicari tahu sebab ketidak hadirannya. Menurut imam Abu Hanifah mendakwa orang yang tidak ada atau tidak hadir dalam persidangan diperbolehkan. Allah Swt berfirman:
فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ
Artinya : “ Maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil (QS. Shad : 26)
Nabi Muhammad saw pernah memberi keputusan atas pengaduan isteri Abu Sufyan, sedang kala itu Abu sufyan tidak hadir dalam persidangan. Rasulullah bersabda kepada istri Abu Sofyan:
خُذِى مَا يَكْفِيْكِ (رواه البخاري ومسلم)
 Artinya : “  Ambillah yang mencukupimu (HR. Bukhari Muslim)
E. Tergugat Dan Sumpah
1.      Tergugat
a.       Pengertian Tergugat
Orang yang terkena gugatan dari penggugat disebut tergugat. Tergugat bisa membela diri dengan membantah kebenaran gugatan melalui 2 cara:
1)      Menunjukkan bukti-bukti
2)      Bersumpah
Rasulullh saw bersabda :
الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِى وَالْيَمِيْنُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ (رواه البيهقي)
Artinya: “Pendakwa harus menunjukkan bukti-bukti dan terdakwa harus bersumpah “(HR Baihaqi)
Dalam peradilan ada beberapa pengistilahan yang perlu dipahami:
1)      Materi gugatan disebut hak
2)      Penggugat disebut mudda’i
3)      Tergugat disebut mudda’a ‘alaih
4)      Keputusan mengenai hak penggugat disebut mahkum bih
5)      Orang yang dikenai putusan untuk diambil haknya disebut mahkum bih (istilah ini bisa jatuh pada tergugat sebagaimana juga bisa jatuh pada penggugat)


2.    Sumpah
a.       Tujuan Sumpah
Tujuan sumpah dalam perspektif Islam adal dua, yaitu:
1)      Menyatakan tekad untuk melaksanakan tugas dengan sungguh – sungguh dan bertanggung jawab terhadap tugas tersebut
2)      Membuktikan dengan sungguh – sungguh bahwa yang bersangkutan dipihak yang benar
Tujuan sumpah yang kedua inilah yang dilakukan di pengadilan. Sumpah tergugat adalah sumpah yang dilakukan pihak tergugat dalam rangka mempertahankan diri dari tuduhan penggugat. Selain sumpah, tergugat juga harus menunjukkan bukti-bukti tertulis dan bahan-bahan yang meyakinkan hakim bahwa dirinya memang benar-benar tidak bersalah.
b.      Syarat – syarat orang yang bersumpah
Orang yang bersumpah harus memenuhi tiga syarat berikut:
1)      Mukallaf
2)      Didorong oleh kemauan sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun
3)      Disengaja bukan karena terlanjur dan lain – lain
c.       Lafadz – lafadz sumpah
Ada tiga lafadz yang bisa digunakan untuk bersumpah, yaitu:  تَاللهِ، بِاللهِ،  وَاللهِ)). Arti ketiga lafadz tersebut adalah “demi Allah”. Rasulullah pernah bersumpah dengan menggunakan lafadz wallahi, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat berikut:
  وَاللهِ لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Artinya : “ Demi Allah, sesungguhnya aku akan memerangi kaum quraisy. Kalimat ini belia ulangi tiga kali. (HR. Abu Daud)
d.      Pelanggaran sumpah
konsekuensi yang harus dilakukan oleh seseorang yang melanggar sumpah adalah membayar kaffarah yamin (denda pelanggaran sumpah) dengan memilih salah satu dari ketiga ketentuan berikut:
1)      Memberikan makanan pokok pada sepuluh orang miskin, dimana masing-masing dari mereka mendapatkan ¾ liter
2)      Memberikan pakaian yang pantas pada sepuluh orang miskin
3)      Memerdekakan hamba sahaya.
Jika pelanggar sumpah masih juga tidak mampu membayar kaffarah dengan melakukan salah satu dari 3 hal di atas, maka ia diperintahkan untuk berpuasa tiga hari. Sebagaimana hal ini Allah jelaskan dalam firman-Nya:
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِيْنَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ أَهْلِيْكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍصلىفَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Artinya : “Maka kafarat ( melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak. Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian maka kafaratnya adalah puasa selama tiga hari (QS. Al Maidah : 89)


2 komentar:

Materi Fiqih di MA kelas XI semester 1

BAB 1 JINAYAT A.   Pengertian Jinayat        Jinayat adalah salah satu cabang dari yang ada dalam ilmu fikih.   Kata jinayat ( جِ...