BAB
1
JINAYAT
A. Pengertian Jinayat
Jinayat adalah salah
satu cabang dari yang ada dalam ilmu fikih. Kata jinayat (جِنـَا
يَاتٌ) adalah isim jamak dari kata jinayah (جِنَا
يَةٌ ) yang artinya perbuatan melanggar aturan syara’ atau dosa.
Meskipun kata jinayat berbentuk isim masdar, namun kata jinayat dipergunakan
dalam bentuk jamak. Hal ini karena jinayat mencakup berbagai macam perbuatan
pelanggaran atau dosa. Adapun pengertian jinayat menurut istilah adalah
perbuatan yang dilarang syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta,
dan lainnya.
B.
Macam-Macam Jinayat
1. Pembunuhan
a. Pengertian Pembunuhan
1. Pembunuhan
a. Pengertian Pembunuhan
Pembunuhan secara
bahasa adalah menghilangkan nyawa seseorang. Sedangkan secara istilah pembunuh
adalah perbuatan manusia yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang baik
dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja, baik dengan alat yang mematikan
maupun yang tidak mematikan. Artinya melenyapkan nyawa seseorang dengan sengaja
atau tidak sengaja, dengan menggunakan alat yang mematikan maupun yang tidak
mematikan. Sejalan dengan pendapat sebagian ulama bahwa, pembunuhan merupakan
suatu perbuatan manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang dan itu
tidak dibenarkan dalam agama islam.
b.
Macam-macam pembunuhan
Pembunuhan dibedakan
menjadi tiga yaitu pembunuhan sengaja (قَتْلُ عَمْدٍ),
pembunuhan seperti sengaja (قَتْلُ شِبْهِ عَمْدٍ ),
dan Pembunuhan Tersalah (قَتْلُ خَطَإٍ) 1).Pembunuhan sengaja (قَتْلُ عَمْد)
yaitu pembunuhan terencana dengan menggunakan
alat
atau cara – cara yang biasanya mematikan seseorang. Dalam konteks pembunuhan
sengaja pelaku pembunuhan harus sudah baligh, dan korban terbunuh adalah orang
baik-baik yang terjaga darahnya.
Contoh : Seseorang merencanakan pembunuhan terhadap temannya karena
dendam dan pada suatu hari niat tersebut benar – benar dilakukannya dengan cara
meracun korban hingga mati.
2).Pembunuhan seperti sengaja (قَتْلُ
شِبْهِ عَمْدٍ) yaitu satu perbuatan yang dilakukan seseorang tanpa didasari
niat membunuh, dengan alat yang tidak mematikan, akan tetapi menyebabkan
kematian orang lain. Contoh : Seseorang yang dengan sengaja memukulkan sapu
kepada temannya, dan akibat perbuatan tersebut temannya mati.
3).Pembunuhan tersalah (قَتْلُ خَطَإٍ )
yaitu pembunuhan yang terjadi karena salah satu dari tiga kemungkinan. Pertama;
salah dalam perbuatan, kedua; salah dalam maksud, ketiga; kelalaian. Contoh
pembunuhan tersalah sebagaimana berikut;
a)
Pemburu
yang membidikkan senapannya kepada binatang, akan tetapi targetnya melesat dan
mengenai seseorang hingga meninggal. Kesalahan ini disebut salah dalam
perbuatan.
b)
Seseorang
menembak orang lain yang ia sangka musuh dalam peperangan hingga mati, dan
ternyata korban terbunuh adalah kawannya sendiri. Kesalahan seperti ini disebut
salah dalam maksud.
c)
Seseorang
yang terjatuh dari tangga dan menimpa bayi yang
berada di bawahnya hingga mati. Perbuatan ini masuk dalam kategori
kelalaian.
c. Hikmah larangan membunuh
Islam menerapkan hukuman yang tepat guna memelihara kehormatan dan
keselamatan jiwa manusia. Pelaku tindak pembunuhan diancam dengan qishash di
dunia dan neraka jahannam di akhirat.
Diantara dalil yang menjelaskan tentang hukuman bagi pembunuh adalah
Firman Allah ta’ala dalam surat an-Nisa ayat 93:
مَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ
جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَ غَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَ لَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ
عَذَابًا عَظِيْمًا
Artinya: “Dan barang siapa membunuh
seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahannam, ia kekal
di dalamnya, dan Allah murka kepadanya, mengutuknya, dan menyediakan adzab yang
besa baginya.”(Q.S. an-Nisa’: 93)
Sabda Rasulullah Saw:
الْعَمْدُ قَوَدٌ إِلَّا أَنْ يَعْفُوَ
وَلِيُّ الْمَقْتُوْلِ
Artinya: “Pembunuhan sengaja
(hukumannya) adalah qishash, kecuali jika wali korban memaafkan.”(H.R. Abu
Dawud)
Hukuman berat bagi pembunuh dimaksudkan
agar tak seorangpun berani menghilangkan nyawa orang lain, hingga rasa aman dan
tentram akan dirasakan semua elemen masyarakt tanpa terkecuali.
2. Qishash
a. Pengertian qishash
a. Pengertian qishash
Menurut syara’ qishash ialah hukuman
balasan yang seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun perusakan atau penghilangan
fungsi anggota tubuh orang lain yang dilakukan dengan sengaja.
b. Macam – macam qishash
Berdasarkan pengertian di atas maka qishash dibedakan menjadi dua
yaitu :
1)
Qishash
pembunuhan (yang merupakan hukuman bagi pembunuh).
2)
Qishash
anggota badan (yang merupakan hukuman bagi pelaku tindak pidana melukai,
merusak atau menghilangkan manfaat / fungsi anggota badan).
c. Hukum qishash
Hukuman mengenai qishash ini, baik qishash pembunuhan maupun qishah
anggota badan, dijelaskan dalam al – qur’an surat Al Maidah: 45:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ
وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَاْلأُذُنَ بِالْأُذُنِ
وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌج فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ ج وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
Artinya : “
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (At – Taurat) bahwasannya
jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka – lukapun ada qishashnya. Barang
siapa melepaskan ( hak qishashnya ) akan melepaskan hak itu ( menjadi ) penebus
dosa baginya. Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang – orang yang dzalim.” (QS. Al –
Maidah : 45 )
d. Syarat – syarat qishash
Hukum qishash wajib dilakukan
apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana berikut:
1)
Orang
yang terbunuh terpelihara darahnya (orang yang benar-benar baik). Jika seorang
mukmin membunuh orang kafir, orang murtad, pezina yang sudah pernah menikah,
ataupun seorang pembunuh, maka dalam hal ini hukuman qishash tidak berlaku.
Rasulullah Saw bersabda:
لَايُقْتَلُ
مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ (رواه البخاري)
Artinya : “Tidak
dibunuh seorang muslim yang membunuh orang kafir.” ( HR. Bukhari)
Hadits di atas menjelaskan bahwa seorang muslim yang membunuh orang
kafir tidak diqishash. Pun demikian, harus dipahami bahwa orang kafir terbagi
menjadi dua; pertama; kafir harby, dan kedua; kafir dzimmi.
2)
Pembunuh
sudah baligh dan berakal, sebagaimana sabda Rasulullah saw :
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ ص.م. قَالَ : رُفِعَ الْقَلَمُ
عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الصَّغِيْرِ حَتَّى
يَكْبَرَ وَ عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيْقَ (رواه أحمد و أبو
داود)
Artinya : “Dari
Aisyah ra bahwa Nabi saw bersabda: terangkat hukum (tidak kena hukum) dari tiga
orang yaitu; orang tidur hingga ia bangun, anak – anak hingga ia dewaasa, dan
orang gila hingga ia sembuh dari gilanya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
3)
Pembunuh
bukan bapak (orang tua) dari terbunuh.
Jika
seorang bapak (orang tua) membunuh anaknya maka ia tidak diqishash. Rasulullah
Saw bersabda:
لَا يُقْتَلُ وَالِدٌ بِوَلَدِهِ (رواه أحمد و الترمذي)
Artinya: “Tidak dibunuh seorang bapak
(orang tua) yang membunuh anaknya.” (H.R. Ahmad dan Turmudzi)
Umar bin Khattab dalam satu kesempatan juga
berkata:
سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمِ قَالَ: لَا يُقَاصُ الْوَالِدُ
بِالْوَلَدِ (رواه الترميذي)
Artinya : “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : Tidak boleh bapak (orang tua)
diqishash karena sebab ( membunuh ) anaknya.” (HR. Turmudzi).
Dalam hal ini hakim berhak menjatuhkan hukuman ta’zir kepada orang
tua tersebut, semisal mengasingkannya dalam rentang waktu tertentu atau hukuman
lain yang dapat membuatnya jera. Adapun jika seorang anak membunuh orang tuanya
maka ia wajib diqishash.
4)
Orang
yang dibunuh sama derajatnya dengan orang yang membunuh, seperti Islam dengan
Islam, merdeka dengan merdeka dan hamba dengan hamba. Allah berfirman:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أمنواكُتِبَ عَلَيْكُمُ اْلقِصَاصُ فِي الْقَتْلَىصلى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَاْلأُنْثَى بِالْأُنْثَىج...
Artinya : “
Hai orang – orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan
orang – orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita.’ (QS. Al – Baqarah : 178 )
5)
Qishash
dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, dan lain
sebagainya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Maidah ayat 45 yang
telah kita bahas kandungan umumnya pada halaman sebelumnya :
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ
وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَاْلأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ
وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌج ...
Artinya : “
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (At – Taurat) bahwasannya
jiwa (dibalas) jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi dan luka – lukiapun ada qishashnya.” (QS. Al – Maidah
: 45 )
e. Hikmah Qishash
Qishash baik yang terkait pada al-jinayah ‘alan nafsi
(tindak pidana pembunuhan) ataupun al-jinayah ‘ala ma dunan nafsi
(tindak pidana yang berupa merusak anggota badan ataupun menghilangkan
fungsinya) akan menimbulkan banyak efek positif. Yang terpenting diantaranya
adalah:
1)
Dapat
memberikan pelajaran bagi kita bahwa neraca keadilan harus ditegakkan. Betapa
tinggi nilai jiwa dan badan manusia, jiwa diganti dengan jiwa, anggota badan
juga diganti dengan anggota badan.
2)
Dapat memelihara keamanan dan ketertiban.
Karena dengan adanya qishash orang akan berfikir lebih jauh jika akan melakukan
tindak pidana pembunuhan ataupun penganiayaan. Disinilah qishash memiliki peran
penting dalam menjauhkan manusia dari nafsu membunuh ataupun menganiaya orang
lain, hingga akhirnya manusia akan merasakan atmosfer kehidupan yang penuh
dengan keamanan, kedamaian dan ketertiban.
3)
Dapat mencegah pertentangan dan permusuhan
yang mengundang terjadinya pertumpahan darah. Dalam konteks ini qishash memiliki
andil besar membantu program negara dalam usaha memberantas berbagai
macam praktik kejahatan hingga ketentraman dan keamanan masyarakat terjamin.
Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya:
وَلَكُمْ
فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَأُولِى الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Artinya : “
Dan dalam qishash itu ada jaminan (kelangsungan hidup bagimu), hai orang –
orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (QS. Al – Baqarah : 179 ).
3. Diyat
a. Pengertian Diyat
Diyat adalah
sejumlah harta yang wajib diberikan kepada pihak terbunuh atau teraniaya.
Maksud disyariatkannya diyat adalah mencegah praktik pembunuhan atau
penganiayaan terhadap seseorang yang sudah semestinya mendapatkan jaminan
perlindungan jiwa.
b. Sebab – sebab ditetapkannya diyat
Diyat wajib dibayarkan karena beberapa sebab berikut:
1)
Pembunuhan
sengaja yang pelakunya dimaafkan pihak terbunuh (keluarga korban). Dalam hal
ini pembunuh tidak diqishash, akan tetapi wajib baginya menyerahkan diyat
kepada keluarga korban.
2)
Pembunuhan
seperti sengaja.
3)
Pembunuhan
tersalah.
4)
Pembunuh
lari, akan tetapi identitasnya sudah diketahui secara jelas. Dalam konteks
semisal ini, diyat dibebankan kepada keluarga pembunuh.
5)
Qishash
sulit dilaksanakan. Ini terjadi pada jinayah ‘ala ma dunan nafsi (tindak
pidana yang terkait dengan melukai anggota badan atau menghilangkan fungsinya).
c. Macam – macam Diyat
Diyat dibedakan menjadi dua yaitu :
1)
Diyat
Mughalladzah atau denda berat.
Teknis
diyat mughaladzah adalah membayarkan 100 ekor unta yang terdiri dari
30 hiqqah ( unta betina berumur 3-4 tahun ),
30 jadza’ah (unta betina berumur 4-5 tahun ) dan
40 unta khilfah ( unta yang
sedang bunting ).
Yang wajib
membayarkan diyat mughaladzah adalah:
a)
Pelaku
tindak pidana pembunuhan sengaja yang dimaafkan oleh keluarga korban. Dalam hal
ini diyat harus diambilkan dari hartanya dan dibayarkan secara kontan sebagai
pengganti qishash.
Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُتَعَمِّدًادُفِعَ إِلَى أَوْلِيَاءِ الْمَقْتُوْلِ
فَإِنْ شَاءُوْا قَتَلُوْا وَإِنْ شَاءُوْا أَخَذُوْا الدِّيَةَ وَهِيَ ثَلَاثُوْنَ
حِقَّةً وَ ثَلَاثُوْنَ جَذْعَةً وَ أَرْبَعُوْنَ خِلْفَةً. (رواه الترميذي)
Artinya : “
Barang siapa yang membunuh dengan sengaja, (hukumannya) harus menyerahkan diri
kepada keluarga korban, jika mereka menghendaki dapat mengambil qishash, dan
jika mereka tidak menghendaki ( mengambil qishash) , mereka dapat mengambil
diyat berupa 30 hiqqah ( unta betina berumur 3-4 tahun ), 30 jadza’ah (unta
betina berumur 4-5 tahun ) dan unta khilfah ( unta yang sedang bunting
)”(HR.Turmudzi(.
b)
Pelaku
pembunuhan seperti sengaja. Diyat mughaladzah pada kasus pembunuhan seperti
sengaja ini dibebankan kepada keluarga pembunuh dan diberikan kepada keluarga
korban dengan cara diangsur selama tiga tahun, setiap tahunnya dibayar
sepertiga.
c)
Pelaku
Pembunuhan di tanah haram (Mekkah), atau pada asyhurul hurum (Muharram, Rajab,
Dzulqo’dah, Dzulhijjah), atau pembunuhan yang dilakukan seseorang terhadap
mahramnya.
2). Diyat
Mukhaffafah atau denda ringan.
Diyat
mukhoffafah yang dibayarkan kepada keluarga korban ini berupa 100 ekor unta,
terdiri dari
20 unta hiqqah (unta betina
berumur 3-4 tahun),
20 unta jadza’ah (unta betina berumur 4-5 tahun),
20 unta binta makhath ( unta betina lebih dari 1 tahun),
20 unta binta labun (unta betina umur lebih dari 2 tahun), dan 20
unta ibna labun (unta jantan berumur lebih dari 2 tahun).
Yang wajib
membayarkan diyat mukhaffafah adalah:
a)
Pelaku
pembunuhan tersalah, dengan tekhnis pembayaran diangsur selama 3 tahun, setiap tahunnya sepertiga dari jumlah
diyat.Rasulullah bersabda:
دِيَةُ
الْخَطَأِ أَخْمَاسًا, عِشْرُوْنَ حِقَّةً وَ عِشْرُوْنَ بِنْتَ مَخَاضٍ وَ
عِشْرُوْنَ بِنْتَ لَبُوْنٍ وَ عِشْرُوْنَ اِبْنَ لَبُوْنٍ. (رواه دارقطني)
Artinya : “
Diyat khatha’ diperincikan lima macam, yaitu 20 unta hiqqah, 20 unta jadza’ah,
20 unta binta makhath ( unta betina lebih dari 1 tahun), 20 unta binta labun
(unta betina umur lebih dari 2 tahun), dan 20 unta ibnu labun (unta jantan
berumur lebih dari 2 tahun) (HR.Daruquthni)
b)
Pelaku
tindak pidana yang berupa menciderai anggota tubuh, atau menghilangkan
fungsinya yang dimaafkan oleh korban atau keluarganya.
Jika diyat tidak bisa dibayarkan dengan unta, maka diyat wajib
dibayarkan dengan sesuatu yang seharga dengan unta.
c. Hikmah Diyat
Hikmah
terbesar ditetapkannya diyat adalah mencegah pertumpahan darah serta sebagai
obat hati dari rasa dendam keluarga korban terhadap pelaku tindak pidana
pembunuhan ataupun penganiayaan.
Kita dapat
merasakan hikmah diwajibkannya diyat saat kita menelaah secara seksama bahwa
keluarga korban mempunyai 2 pilihan. Pertama; meminta qishash, kedua; memaafkan
pelaku tindak pembunuhan atau penganiayaan dengan kompensasi diyat. Dan saat
pilihan kedua dipilih keluarga korban, maka secara tidak langsung keluarga
korban telah mengikhlaskan apa yang telah terjadi, hati mereka menjadi bersih
dari amarah ataupun rasa dendam yang akan dilampiaskan kepada pelaku tindak
pembunuhan ataupun penganiayaan.
Walaupun secara
manusiawi rasa sakit hati ataupun dendam tidak bisa dihilangkan begitu saja
dengan diterimanya diyat, tetapi karena keluarga korban telah berniat dari awal
“untuk memaafkan pelaku tindak pidana” maka dorongan batin itu lambat laun akan
menetralisir suasana hingga akhirnya keluarga korban benar-benar bisa memaafkan
pelaku tindak pidana setelah mereka menerima diyat.
Sampai titik
ini, semakin bisa dirasakan bahwa diyat merupakan media syar’i efektif pencegah
pertumpahan darah dan penghilang rasa sakit hati atau dendam keluarga korban
terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan ataupun penganiayaan.
5. Kaffarah
a. Pengertian kaffarah
Kata kaffarah
merupakan redaksi hiperbolis (sighah mubalaghah) dari kata kufr
yang artinya tertutup. Maksudnya, tertutupnya hati seseorang hingga ia berani
melakukan pelanggaran terhadap aturan syar’i.
Sedangkan
menurut makna terminologi (istilah) kaffarah adalah denda yang wajib dibayarkan
oleh seseorang yang telah melanggar larangan Allah tertentu. Kaffarah merupakan
tanda taubat kepada Allah dan penebus dosa.
b. Macam-macam kaffarah
Berikut penjelasan singkat macam-macam kaffarah:
1)
Kaffarah
Pembunuhan
Agama Islam sangat melindungi jiwa.
Darah tidak boleh ditumpahkan tanpa sebab-sebab yang dilegalkan oleh syariat.
Karenanya, seorang yang membunuh orang lain selain dihadapkan pada salah satu
dari 2 pilihan yaitu; dibunuh atau membayar diyat, ia juga diwajibkan membayar
kaffarah.
Kaffarah bagi pembunuh adalah
memerdekakan budak muslim. Jika ia tak mampu melakukannya maka pilihan
selanjutnya adalah berpuasa 2 bulan berturut-turut. Hal ini sebagaimana
diterangkan Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 92:
...وَمَنْ قَتَلَ
مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَ دِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى
أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوْاج فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ
مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍصلىوَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ
بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيْثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ
وَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍصلىفَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ
مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللهِ...
Artinya : “Dan
barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin serta membayar diyat yang
diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah. Jika ia (yang terbunuh) dari orang (kafir) yang ada
perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Basrang siapa yang tidak memperolehnya,
maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut – turut untuk
penerimaan taubat dari Allah (QS.An – Nisa’ : 92)
2) Kaffarah Dzihar
Dzihar adalah perkataan seorang suami kepada istrinya,”Anti
‘alayya kadhohri ummi” (kau bagiku seperti punggung ibuku). Pada masa
jahiliyyah dzihar dianggap sebagai thalaq. Akan tetapi setelah syariah
islamiyyah turun, ketetapan hukum dzihar yang berlaku di kalangan masyarakat
jahiliyyah dibatalkan. Syariat Islam menegaskan bahwa dzihar bukanlah thalaq,
dan pelaku dzihar wajib menunaikan kaffarah dzihar sebelum ia melakukan
hubungan biologis dengan istrinya.
Kaffarah seorang suami yang mendzihar istrinya adalah, memerdekakan
hamba sahaya. Jika ia tak mampu melakukannya, maka ia beralih pada pilihan
kedua yaitu berpuasa 2 bulan berturut-turut. Dan jika ia masih juga tak mampu
melakukannya, maka ia mengambil pilihan terakhir yaitu memberikan makan 60
fakir miskin.
3) Kaffarah
melakukan hubungan biologis di siang hari pada bulan Ramadhan
Kaffarah yang ditetapkan untuk
pasangan suami istri yang melakukan hubungan biologis pada siang hari di bulan
Ramadhan sama dengan kaffarah dzihar ditambah qadha sebanyak jumlah hari mereka
melakukan hubungan biologis di siang hari bulan Ramadhan.
4) Kaffarah
karena melanggar sumpah
Kaffarah bagi seorang yang bersumpah
atas nama Allah kemudian ia melanggarnya adalah memberi makan 10 fakir miskin,
atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak. Jika ketiga hal
tersebut tak mampu ia lakukan, maka diwajibkan baginya puasa 3 hari
berturut-turut. Dalil naqli terkait hal ini adalah firman Allah ta’ala dalam
surat al-Maidah ayat 89.
5) Kaffarah ila’
Ila’ adalah sumpah suami untuk tidak
melakukan hubungan biologis dengan istrinya dalam masa tertentu. Semisal
perkataan suami kepada istrinya,”Wallâhi lâ ujâmi’uka” (demi Allah aku
tidak akan menggaulimu). Konsekuensi yang muncul karena ila’ adalah suami
membayar kaffarah ila’ yang jenisnya sama dengan kaffarah yamîn
(kaffarah melanggar sumpah).
6) Kaffarah karena membunuh
binantang buruan pada saat berihram.
Kaffarah jenis ini adalah mengganti
binatang ternak yang seimbang, atau memberi makan orang miskin, atau berpuasa.
Aturan kaffarah ini Allah jelaskan dalam surat al-Maidah ayat 95.
c. Hikmah Kaffarah
Beberapa hikmah pembayaran kafarat
sebagai berikut:
1)
Agar
manusia dekat dengat Allah swt
2)
Agar
terwujud kehidupan yang aman dan terkendali di masyarakat serta dapat
terpelihara hak-hak setiap orang.
3)
Agar
pelaku jera dan menyesali perbuatannya serta tidak akan mengulanginya
4)
Agar
orang yang mau berbuat jahat berfikir untuk tidak berbuat jahat
BAB
II
HUDUD
A.
Pengertian Hudud
Hudud adalah bentuk jamak dari kata had yang berarti pembatas antara dua hal.
Hudud adalah bentuk jamak dari kata had yang berarti pembatas antara dua hal.
الْحَدُّ فِى الْأَصْلِ:
الشَّيْئُ الْحَاجِزُ بَيْنَ الشَّيْئَيْنِ
Artinya : “Had makna asalnya adalah, sesuatu yang membatasi dua
hal.”
Adapun secara bahasa,
arti had adalah pencegahan. Berbagai hukuman perbuatan maksiat dinamakan had
karena umumnya hukuman-hukuman tersebut dapat mencegah pelaku maksiat untuk
kembali kepada kemaksiatan yang pernah ia lakukan. Hukuman had merupakan media
penjera pelaku maksiat hingga ia tak mau mengulangi kemaksiatannya.
Sedangkan menurut
istilah syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman tertentu yang telah ditetapkan
Allah sebagai sanksi hukum terhadap pelaku tindak kejahatan selain pembunuhan
dan penganiayaan. Tujuan inti dari hudud yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia.
Dalam istilah fiqh, berbagai tindak kejahatan yang diancam dengan
hukuman had diistilahkan dengan jaraimul hudud. Macam jaraimul hudud
yang senantiasa dikupas dalam berbagai referensi fiqh adalah;
1. Zina
2. Qadhaf (menuduh wanita baik-baik
berbuat zina)
3. Mencuri
4. Meminum minuman keras
5. Murtad
6. Bughat
7. Hirabah
(mengambil harta orang lain dengan kekerasan / ancaman senjata, dan terkadang
diikuti dengan aksi pembunuhan).
Hukuman dalam bentuk had berbeda
dengan hukuman dalam bentuk qishash –walaupun sebagian ada yang jenisnya sama-.
Karena had merupakan hak Allah Swt sedangkan qishash adalah hak hamba. Had
tidak bisa gugur karena dimaafkan oleh pihak yang dirugikan. Sedangkan qishash
dapat gugur jika pihak yang dirugikan memaafkan.
1. Zina
a. Pengertian Zina
Zina adalah memasukkan alat kelamin laki – laki ke dalam alat
kelamin perempuan yang mendatangkan syahwat, dalam persetubuhan yang haram
menurut zat perbuatannya, bukan karena syubhat.
Maksud dari perempuan yang mendatangkan syahwat adalah seorang yang
berjenis kelamin perempuan baik yang dewasa (baligh) ataupun yang masih kecil.
Dari pengertian ini bisa disimpulkan bahwa persetubuhan dengan hewan ataupun
mayat tidak bisa dikategorikan zina. Pelaku tindak keji tersebut tidak terkena
had. Walaupun demikian, hakim atau penguasa berhak menta’zirnya (menghukumnya
dengan pertimbangan maslahat) hingga ia
jera dan menyadari bahwa perbuatan menyetubuhi hewan ataupun mayat adalah
tindakan haram yang harus dihindari.
Adapun maksud dari persetubuhan yang haram menurut zat perbuatannya
adalah hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri
(hubungan biologis illegal di luar nikah).
Sedangkan maksud dari “bukan karena syubhat” adalah perzinaan yang
terjadi bukan karena seorang laki-laki mengira bahwa wanita yang ia setubuhi
adalah pasangan yang syah untuknya, seperti istrinya. Jika seorang laki-laki
menyetubuhi seorang wanita yang ia kira adalah istrinya, maka had tidak
dikenakan untuknya.
b. Status hukum zina
Sudah menjadi ijma’ para ulama’ bahwa zina hukumnya haram dan
termasuk salah satu bentuk dosa besar. Allah Swt berfirman :
وَلَا تَقْرَبُوْا الزِّنَاصلى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلًا
Artinya : “Dan
janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji, dan
suatu jalan yang buruk.” (QS. Al – Isra’:32)
Keharaman zina juga dijelaskan dalam berbagai riwayat. Diantaranya
hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud berikut:
قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ
الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ : أَنْ تَجْعَلَ لِلّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ ,
قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ أَنْ تَقْتٌلَ وَلَدَكَ خَشْيَةً أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ, قُلْتُ
ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ : أَنْ تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ جَارِكَ
(رواه البخارى ومسلم)
Artinya : “Saya
(Abdullah Ibnu Mas’ud) bertanya ; “Ya Rasulullah dosa apakah yang paling
besar?” Nabi menjawab : “Engkau menyediakan sekutu bagi Allah Swt, padahal dia
menciptakan kamu.” Saya bertanya lagi:”Kemudian (dosa) apalagi?” Nabi menjawab
:”Engkau membunuh anakmu karena khawatir jatuh miskin” Saya bertanya lagi:
“Kemudian apalagi?” Beliau menjawab : “Engkau berzina dengan istri tetanggamu.”
(HR.Bukhari dan Muslim)
c. Dasar penetapan hukum Zina
Had zina dapat dilaksanakan jika tertuduh diyakini benar – benar
telah melakukan perzinaan. Untuk itu diperlukan penetapan secara syara’.
Rasulullah sangat hati – hati dalam melaksanakan had zina ini. Beliau tidak
akan melaksanakan had zina sebelum yakin bahwa tertuduh benar – benar berbuat
zina.
Berikut
dasar-dasar yang dapat digunakan untuk menetapkan bahwa seseorang telah
benar-benar berbuat zina:
1)
Adanya
empat orang saksi laki – laki yang adil. Kesaksian mereka harus sama dalam hal
tempat, waktu, pelaku dan cara melakukannya. Firman Allah Swt:
وَالَّتِى
يَأْتِيْنَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوْا عَلَيْهِنَّ
أَرْبَعَةً مِنْكُمْصلى...
Artinya : “Dan
(terhadap) wanita yang mengerjakan perbuatan keji (berzina) hendaklah ada empat
orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya).”(QS.An – Nisa’:15)
2)
Pengakuan
pelaku zina, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jabir bin Abdillah r.a.
berikut ini:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِاللهِ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَجُلًا مِنْ
أَسْلَمَ أَتَى رَسُوْلَ اللهِ ص.م.فَحَدَّثَهُ أَنَّهُ قَدْ زَنَى فَشَهِدَ عَلَى
نَفْسِهِ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ فَأَمَرَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. فَرُجِمَ وَكَانَ
قَدْ أُحْصِنَ .(رواه البخاري)
Artinya : “Dari
jabir bin Abdullah al – Anshari ra. Bahwa seorang laki – laki dari Bani Aslam
datang kepada Rasulullah dan menceritakan bahwa ia telah berzina. Pengakuan ini
diucapkan empat kali. Kemudian Rasul menyuruh supaya orang tersebut dirajam dan
orang tersebut adalah muhshan.” (HR. Muslim)
Sebagian ulama’ ada yang berpendapat bahwa kehamilan perempuan
tanpa suami dapat dijadikan dasar penetapan perbuatan zina. Akan tetapi
Jumhurul Ulama’ berpendapat sebaliknya. Kehamilan saja tanpa pengakuan atau
kesaksian empat orang yang adil tidak dapat dijadikan dasar penetapan zina.
Had zina dapat dijatuhkan terhadap pelakunya, jika telah terpenuhi
syarat – syarat sebagai berikut :
1)
Pelaku
zina sudah baligh dan berakal
2)
Perbuatan
zina dilakukan tanpa paksaan
3)
Pelaku
zina mengetahui bahwa konsekuensi dari perbuatan zina adalah had
4)
Telah
diyakini secara syara’ bahwa pelaku tindak zina benar-benar melakukan perbuatan
keji tersebut.
d. Macam-macam zina dan hadnya
Dalam kajian Fiqh, zina dibedakan menjadi dua, pertama: zina mukhshon,
dan kedua: zina ghairu mukhshon.
1)
Zina
mukhshon yaitu perbuatan zina yang dilakukan oleh seorang yang sudah menikah.
Ungkapan “seorang yang sudah menikah” mencakup suami, istri, janda, atau duda.
Had (hukuman) yang diberlakukan kepada
pezina mukhshon adalah rajam. Tekhnis hukuman rajam yaitu, pelaku zina mukhshon
dilempari batu yang berukuran sedang hingga benar-benar mati. Batu yang
digunakan tidak boleh terlalu kecil sehingga memperlama proses kematian dan
hukuman. Sebagaimana juga tidak dibolehkan merajam dengan batu besar hingga
menyebabkan kematian seketika yang dengan itu tujuan “memberikan pelajaran”
kepada pezina mukhshon tidak tercapai.
2)
Zina
Ghairu mukhshon yaitu zina yang dilakukan oeh seseorang yang belum pernah
menikah. Para ahli fiqh sepakat bahwa had (hukuman) bagi pezina ghoiru mukhshon
baik laki-laki ataupun perempuan adalah cambukan sebanyak 100 kali.
Adapun hukuman
pengasingan (taghrib / nafyun) para ahli fiqh berselisih pendapat.
1)
Imam
Syafi’i dan imam Ahmad berpendapat bahwa had bagi pezina ghoiru mukhshon adalah
cambukan sebanyak 100 kali dan pengasingan selama 1 tahun.
2)
Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa had bagi pezina ghoiru mukhshon hanya cambukan
sebanyak 100 kali. Pengasingan menurut Abu Hanifah hanyalah hukuman tambahan
yang kebijakan sepenuhnya dipasrahkan kepada hakim. Jika hakim memutuskan
hukuman tambahan tersebut kepada pezina ghoiru mukhshon, maka pengasingan masuk
dalam kategori ta’zir bukan had.
3)
Imam
Malik dan imam Auza’i berpendapat bahwa had bagi pezina laki-laki merdeka
ghoiru mukhshon adalah cambukan sebanyak 100 kali dan pengasingan selama 1
tahun, adapun peziina perempuan merdeka ghoiru mukhshon hadnya hanya cambukan
100 kali. Ia tidak diasingkan karena wanita adalah aurat dan kemungkinan ia
dilecehkan di luar wilayahnya sangat besar.
Dalil yang
menegaskan bahwa pezina ghoiru mukhshon di kenai had berupa cambukan 100 kali
dan pengasingan adalah Firman Allah ta’ala dalam surat an-Nur ayat 2:
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِى فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهٌمَامِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا
تَأْخُذْكُمْ بِهِمَارَأْفَةٌ فِى دِيْنِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ
الْمٌؤْمِنِيْنَ (رواه البخاري)
Artinya : “Perempuan
yang berzina dan laki – laki yang berzina maka deralah pada tiap-tiap dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada mereka mencegah
kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang – orang yang beriman.”
(QS. An – Nur : 2)
Sabda
Rasulullah Saw:
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَيني قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ ص.م.
يَأْمُرُ فِيْمَنْ زَنَى وَلَمْ يُحْصَنْ جَلْدَ مِائَةٍ وَ تَغْرِيْبَ عَامٍ.
(رواه البخاري)
Artinya : “ Dari
Zaid bin Khalid Al-Juhaini, dia berkata : “Saya mendengar Nabi menyuruh agar
orang yang berzina dan ia bukan muhshan, didera 100 kali dan diasingkan selama
satu tahun.”(HR. Bukhari)
e. Hikmah diharamkannya zina
Zina merupakan sumber berbagai
tindak kemaksiatan. Diantara hikmah terpenting diharamkannya zina adalah:
1)
Memelihara
dan menjaga keturunan dengan baik. Karena anak hasil perzinaan pada umumnya
kurang terpelihara dan terjaga.
2)
Menjaga
harga diri dan kehormatan manusia.
3)
Menjaga
ketertiban dan keteraturan rumah tangga.
4)
Memunculkan
rasa kasih sayang terhadap anak yang dilahirkan dari pernikahan syah.
2. Qadzaf
a. Pengertian Qadzaf
Qadhaf secara bahasa memppunyai arti melempar dengan batu atau yang
semisalnya (ar-ramyu bil hijarah wa ghairiha). Adapun menurut istilah
syar’i qadhaf adalah melempar tuduhan zina kepada seorang yang dikenal baik
secara terang-terangan.
b. Hukum Qadzaf
Qadzaf merupakan salah satu dosa besar yang diharamkan syariat
Islam. Diantara dalil-dalil yang menegaskan keharaman qadzaf adalah Firman
Allah ta’ala dalam an-Nur ayat 23-24:
إِنَّ
الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوْا فِى
الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ .
Artinya : “Sesungguhnya
orang – orang yang menuduh wanita yang baik – baik, yang lengah (dari perbuatan
keji) lagi beriman (berzina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi
mereka azab yang besar” (QS.An – Nur : 23 – 24)
Sabda
Rasulullah Saw yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a.:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م. قَالَ :
اِجْتَنِبْ السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ قِيْلَ : وَمَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟
قَالَ : الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللهُ
إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ
وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ.(رواه البخاري ومسلم)
Artinya :”Dari Abu Hurairah ra. Nabi bersabda : “ Jauhilah
olehmu tujuh (perkara) yang membinasakan”, Nabi ditanya : “Apa saja perkara
itu, ya Rasulullah?” Rasul menjawab : “ Menyekutukan Allah, sihir, membunuh
jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan jalan yang sah menurut syara’,
memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari medan perang, dan
menuduh zina wanita baik – baik yang tak pernah ingat berbuat keji, lagi
beriman.” (H.R. Bukhori Muslim)
c. Had qadzaf
Had (hukuman) bagi pelaku qadzaf adalah cambukan sebanyak 80 kali
bagi yang merdeka, dan cambukan 40 kali
bagi budak, karena hukuman budak setengah hukuman orang yang merdeka. Allah Swt
berfirman dalam surat an-Nur ayat 4:
وَالَّذِيْنَ
يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءِ
فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً وَلَاتَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًاجوَأُولئِكَ
هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
Artinya : ”Dan
orang – orang yang menuduh wanita yang baik – baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selamanya. Dan mereka itulah
orang – orang yang fasik. (QS. An-Nur : 4)
d. Syarat – syarat berlakunya had qadzaf
Had qadzaf
wajib dijatuhkan terhadap penuduh zina jika memenuhi syarat – syarat berikut :
1)
Tertuduh
berzina adalah mukhshon. Pengertian mukhshon dalam qadzaf berbeda dengan
mukhshon dalam masalah zina. Dalam qadzaf, mukhshon adalah orang baik yang
benar-benar tidak berzina. Adapun mukhshon dalam pembahasan zina adalah seorang
yang sudah pernah menikah.
2)
Penuduh
baligh dan berakal
3)
Tuduhan
berzina benar – benar sesuai aturan syara’, dimana saksi dalam kasus qadzaf
adalah 2 orang laki-laki adil yang menyatakan bahwa penuduh telah menuduh orang
baik-baik berbuat zina atau pengakuan dari penuduh sendiri bahwa dirinya telah
menuduh orang baik-baik berbuat zina.
f. Gugurnya had qadzaf
Seorang yang menuduh orang baik-baik berzina bisa terlepas dari had
qadzaf jika salah satu dari tiga hal di bawah ini terjadi:
1)
Penuduh
dapat menghadirkan empat orang saksi laki – laki adil bahwa tertuduh benar –
benar telah berzina.
2)
Li’an
(sumpah seorang suami atas nama Allah Swt sebanyak 4 kali), jika suami menuduh
istri berzina sedang dirinya tak mampu menghadirkan 4 saksi adil.
3)
Tertuduh
memaafkan.
g. Hikmah dilarangnya qadzaf
Efek negatif yang
dimunculkan qadzaf adalah tercemarnya nama baik tertuduh, serta jatuhnya harga
diri dan kehormatannya di mata masyarakat. Karenanya, Islam mengharamkan qadzaf
dan menetapkan had bagi pelakunya. Diantara hikmah terpenting penetapan had
qadzaf adalah:
1)
Menjaga
kehormatan diri seseorang di mata masyarakat
2)
Agar
seseorang tidak begitu mudah melakukan kebohongan dengan cara menuduh orang
lain berbuat zina
3)
Agar
si penuduh merasa jera dan sadar dari perbuatannya yang tidak terpuji
4)
Menjaga
keharmonisan pergaulan antar sesama anggota masyarakat
5)
Mewujudkan
keadilan dikalangan masyarakat berdasarkan hukum yang benar
3. Meminum Minuman Keras
a. Pengertian Minuman Keras (Khamr)
Dalam bahasa
Arab minuman keras disebut khamr. Secara definisi bahasa khamr mempunyai arti
penutup akal. Sedangkan menurut istilah syar’i khamr adalah segala jenis minuman
atau selainnya yang memabukkan dan menghilangkan fungsi akal.
Berpijak dari
definisi syar’i ini, cakupan khamr tidak hanya terkait dengan minuman, akan
tetapi segala sesuatu yang dikonsumsi baik makanan atau minuman yang memabukkan
dan membuat manusia tidak sadar, semisal ganja, heroin, obat bius dan lain
sebagainya bisa disebut khamr. Rasulullah Saw bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ
خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ. (رواه مسلم)
Artinya : “Tiap
– tiap yang memabukkan disebut khamr, dan tiap – tiap khamr hukumnya
haram.”(HR. Muslim)
b. Hukum Minuman Keras
Sudah menjadi
ijma’ ulama’ bahwa hukum minuman keras (khamr) haram. Mengkonsumsi minuman
keras merupakan dosa besar. Diantara dalil yang menegaskan keharaman minuman
keras adalah Firman Allah ta’ala dalam surat al-Maidah ayat 90:
يَا أَيُّهَا
الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَ الْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ
وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَ
Artinya : “Hai
orang – orang yang beriman, sesungguhnya (minuman) khamr, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan – perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.”(QS. Al – Maidah : 90)
Sabda
Rasulullah Saw:
عَنْ عَبْدِالله
بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ الله ص.م. قَالَ : مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِى
الدُّنْيَا ثُمَّ لَمْ يَتُبْ مِنْهَا حَرَّمَهَا فِى الْأَخِرَةِ (رواه مسلم)
Artinya : ” Dari
Abdullah bin Umar, Rasullah bersabda : “Barang siapa meminum khamr di dunia dan
ia tidak bertaubat maka (Allah) mengharamkannya di akhirat”(HR. Bukhari)
c. Had Minuman Keras
Sebagaimana
ulama’ telah sepakat akan haramnya minuman keras, mereka juga sepakat bahwa
orang yang meminumnya wajib dikenai hukuman (had), baik ia mengkonsumsi sedikit
atau banyak. Landasan syar’i terkait hal ini adalah Sabda Rasulullah Saw:
عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ ر.ض. أَنَّ النَّبِيَّ أُتِيَ بِرَجُلٍ شَرِبَ الْخَمْرَ فَجَلَدَهُ
بِجَرِيْدَتَيْنِ نَحْوَ أَرْبَعِيْنَ.(متفق عليه)
Artinya : ”Dari
Anas bin Malik ra, dihadapkan kepada Nabi saw seorang yang telah minum minuman
keras, kemudian beliau menjilidnya dengan dua tangkai pelepah kurma kira
– kira 40 kali.” (Muttafiq Alaih)
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah pukulan bagi peminum
khamr. Berikut ringkasan khilaf (perbedaan pendapat) mereka:
1)
Jumhurul
ulama’ (mayoritas ulama) diantaranya Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam
Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa jumlah pukulan dalam had minuman keras 80
kali. Alasan mereka, bahwa para sahabat di zaman umar bin khatthab pernah
bermusyawarah untuk menetapkan seringan-ringannya hukuman had. Kemudian mereka
bersepakat bahwa jumlah minimal had adalah pukulan sebanyak 80 kali. Dari
kesepakatan inilah, selanjutnya Umar menetapkan bahwa had bagi peminum khamr
adalah pukulan sebanyak 80 kali.
2)
Imam
syafi’i, Abu Daud dan ulama’ Dzahiriyyah berpendapat bahwa jumlah had minuman
keras adalah 40 kali, tetapi imam/hakim boleh menambahkannya sampai 80 kali.
Tambahan 40 kali merupakan ta’zir yang merupakan hak imam/hakim.
Alat pukul yang
digunakan untuk menghukum peminum khmar bisa berupa sepotong kayu, sandal,
sepatu, tongkat, tangan, atau alat pukul lainnya.
d. Hikmah diharamkannya minuman keras
Diantara hikmah terpenting diharamkannya minuman keras adalah:
1)
Masyarakat
terhindar dari kejahatan seseorang yang diakibatkan pengaruh minuman keras.
Peminum minuman keras yang sudah sampai level “pecandu” tidak akan mampu
menghindar dari tindak kejahatan/kemaksiatan. Karena minuman keras merupakan
induk segala macam bentuk kejahatan. Maka, ketika minuman keras diharamkan dan
kebiasaan meminumnya bisa dihilangkan, secara otomatis berbagai tindak
kejahatan akan sirna, atau paling minimal menurun drastis.
2)
Menjaga
kesehatan jasmani dan rohani dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh pengaruh
minuman keras seperti busung lapar, hilang ingatan, atau berbagai penyakit
berbahaya lainnya.
3)
Masyarakat
terhindar dari siksa kebencian dan permusuhan yang diakibatkan oleh pengaruh
minuman keras. Sebagaimana maklum adanya, minuman keras selain mengakibatkan
berbagai macam penyakit juga menjadikan mental pecandunya tidak stabil. Pecandu
minuman keras akan mudah tersinggung dan salah paham hingga dirinya akan selalu
diselimuti kebencian dan permusuhan.
4)
Menjaga
hati agar tetap bersih, jernih, dan dekat kepada Allah ta’ala. Karena minuman
keras akan mengganggu kestabilan jasmani dan rohani. Hati pecandu minuman keras
hari demi hari akan semakin jauh dari Allah. Hatinya menjadi gelap, keras
hingga ia tak sungkan-sungkan melakukan pelanggar terhadap aturan syar’i.
5. Mencuri
a. Pengertian Mencuri
Secara arti bahasa mencuri adalah mengambil harta atau selainnya
secara sembunyi-sembunyi. Dari arti bahasa ini muncul ungkapan “fulân
istaroqo as-sam’a wa an-nadhoro” (Fulan mencuri pendengaran atau
penglihatan).
Sedangkan menurut istilah syara’ mencuri adalah,
هِيَ أَخْذُ الْمُكَلَّفِ – أَيْ الْبَالِغِ الْعَاقِلِ – مَالَ
الْغَيْرِ خَفْيَةً إِذَا بَالَغَ نِصَابًا مِنْ حِرْزٍ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُوْنَ
لَهُ شُبْهَةٌ فِى هَذَا الْمَالِ الْمَأْخُوْذِ
Artinya :
“Mukallaf yang mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi, jika harta tersebut mencapai satu nishab,
terambil dari tempat simpanannya, dan orang yang mengambil tidak mempunyai
andil kepemilikan terhadap harta tersebut.”
Berpijak dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa praktik pencurian yang pelakunya
diancam dengan hukuman had memiliki beberapa syarat berikut ini:
1)
Pelaku
pencurian adalah mukallaf
2)
Barang
yang dicuri milik orang lain
3)
Pencurian
dilakukan dengan cara diam – diam atau sembunyi – sembunyi
4)
Barang
yang dicuri disimpan di tempat penyimpanan
5)
Pencuri
tidak memiliki andil kepemilikan terhadap barang yang dicuri. Jika pencuri
memiliki andil kepemilikan seperti orang tua yang mencuri harta anaknya maka
orang tua tersebut tidak dikenai hukuman had, walaupun ia mengambil barang
anaknya yang melebihi nishab pencurian.
6)
Barang
yang dicuri mencapai jumlah satu nisab
Praktik
pencurian yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas pelakunya tidak dikenai
had. Pun demikian, hakim berhak menjatuhkan hukuman ta’zir kepadanya.
b. Pembuktian praktik pencurian
Disamping syarat – syarat di atas, had mencuri tidak dapat
dijatuhkan sebelum tertuduh praktik pencurian benar-benar diyakini –secara
syara’- telah melakukan pencurian yang mengharuskannya dikenai had. Tertuduh
harus dapat dibuktikan melalui salah satu dari tiga kemungkinan berikut:
1)
Kesaksian
dari dua orang saksi yang adil dan merdeka
2)
Pengakuan
dari pelaku pencurian itu sendiri
3)
Sumpah
dari penuduh.
Jika terdakwa pelaku pencurian menolak tuduhan tanpa disertai
sumpah, maka hak sumpah berpindah kepada penuduh. Dalam situasi semisal ini,
jika penuduh berani bersumpah, maka tuduhannya diterima dan secara hukum
tertuduh terbukti melakukan pencurian
c. Had Mencuri
Jika praktik
pencurian telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dijelaskan di atas, maka
pelakunya wajib dikenakan had mencuri, yaitu potong tangan. Allah Swt berfirman
dalam surat al-Maidah ayat 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً
بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللهِ
وَاللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya : “Laki
– laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah kedua tangannya
sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah
dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS.Al Maidah : 38)
Ayat di atas
menjelaskan had pencurian secara umum. Adapun tekhnis pelaksanaan had pencurian
yang lebih detail dijelaskan dalam hadits Rasulullah berikut:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ ص.م. قَالَ فِى السَّارِقِ
إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا يَدَهُ ثُمَّ إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا رِجْلَهُ إِنْ
سَرِقَ فَاقْطَعُوْا يَدَهُ ثُمَّ إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا رِجْلَهُ (رواه
الشافعي)
Artinya : “Dari
Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah bersabda mengenai pencuri : “jika ia
mencuri (kali pertama) potonglah satu tangannya, kemudian jika ia mencuri (kali
kedua) potonglah salah satu kakinya, jika ia mencuri (kali ketiga) potonglah
tangannya (yang lain), kemudian jika ia mencuri (kali keempat) potonglah
kakinya (yang lain).
Bersandar pada
hadits tersebut sebagian ulama diantaranya imam Malik dan imam Syafi’i
berpendapat bahwa had mencuri mengikuti urutan sebagaimana berikut:
1)
Potong
tangan kanan jika pencurian baru dilakukan pertama kali
2)
Potong
kaki kiri jika pencurian dilakukan untuk kali kedua
3)
Potong
tangan kiri jika pencurian dilakukan untuk kali ketiga
4)
Potong
kaki kanan jika pencurian dilakukan untuk kali keempat
5)
Jika
pencurian dilakukan untuk kelima kalinya maka hukuman bagi pencuri adalah
ta’zir dan ia dipenjarakan hingga bertaubat.
Sebagian ulama’ lain diantaranya Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad
berpendapat bahwa hukuman potong tangan dan kaki hanya berlaku sampai pencurian
kedua, yakni potong tangan kanan untuk pencurian pertama dan potong kaki kiri
untuk pencurian kedua, sedangkan untuk pencurian ketiga dan seterusnya
hukumannya adalah ta’zir.
d. Nisab (kadar) barang yang dicuri.
Para ulama berbeda pendapat terkait nisab (kadar minimal) barang
yang dicuri.
1)
Menurut
madzhab hanafi nishab barang curian adalah 10 dirham
2)
Menurut
jumhur ulama nishab barang curian adalah ¼ dinar emas, atau tiga dirham perak.
Dalil yang dijadikan sandaran jumhur ulama terkait penetapan had
nishab ¼ dinar emas atau tiga dirham perak adalah Hadits yang diriwayatkan imam
Muslim dalam kitab shahihnya dan imam Ahmad dalam kitab musnadnya, dimana
Rasulullah Saw bersabda:
لَا تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِى
رُبْعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا
Artinya: “Tidak dipotong tangan seorang
pencuri kecuali jika ia mencuri sebanyak ¼ dinar atau lebih”
Dan dalam riwayat imam Bukhori dengan
lafadz:
تُقْطَعُ الْيَدُ فِى رُبْعِ دِيْنَارٍ
فَصَاعِدًا
Artinya:”Tangan dipotong (pada pencurian) ¼
dinar atau lebih.”
Adapun tentang harga dinar atau dirham
selalu berubah-ubah. Satu dinar emas diperkirakan seharga 10-12 dirham. Jika
dihargakan dengan emas, satu dinar setara dengan 13,36 gram emas. Jadi
diperkirakan nishab barang curian adalah 3,34 gram emas (1/4 dinar).
e. Pencuri yang dimaafkan
Ulama’ sepakat bahwa pemilik barang yang dicuri dapat memaafkan pencurinya, sehingga pencuri bebas dari had
sebelum perkaranya sampai ke pengadilan. Karena had pencuri merupakan hak hamba
(hak pemilik barang yang dicuri).
Jika perkaranya sudah sampai ke pengadilan, maka had pencuri pindah dari
hak hamba ke hak Allah. Dalam situasi semisal ini, had tersebut tidak dapat
gugur walaupun pemilik barang yang dicuri memaafkan pencuri.
Teks syar’i yang menjelaskan tentang masalah tersebut adalah, hadits
riwayat Abu Dawud dan Nasa’i berikut:
رَوَي
عَمْرُوْ بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م.
قَالَ: تَعَافُوْا الْحُدُوْدَ فِيْمَا بَيْنَكُمْ فَمَا بَلَغَنِيْ مِنْ حَدٍّ
فَقَدْ وَجَبَ (رواه أبوا داود والنّسائي)
Artinya :” Diriwayatkan
dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya: “Sesungguhnya Rasulullah saw
bersabda : “ Maafkanlah had selama masih berada ditanganmu, adapun had yang
sudah sampai kepadaku, maka wajib dilaksanakan.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
f. Hikmah had bagi pencuri
Adapun hikmah dari had mencuri antara lain sebagai berikut :
1)
Seseorang
tidak akan dengan mudah mengambil barang orang lain karena hal tersebut akan
memunculkan efek ganda. Ia akan menerima sanksi moral yaitu malu, sekaligus
mendapatkan sanksi yang merupakan hak adam yaitu had.
2)
Seseorang
akan memahami betapa hukum Islam benar-benar melindungi hak milik seseorang.
Karunia Allah terkait harta manusia bukan hanya dari sisi jumlahnya, lebih dari
itu, saat harta tersebut telah dimiliki secara syah melalui jalur halal, maka
ia akan mendapatkan jaminan perlindungan.
3)
Menghindarkan
manusia dari sikap malas. Mencuri selain merupakan cara singkat memiliki
sesuatu secara tidak syah, juga merupakan perbuatan tidak terpuji yang akan
memunculkan sifat malas. Sifat ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
4)
Membuat
jera pencuri hingga dirinya terdorong untuk mencari rizki yang halal.
6. Penyamun, Perampok, Dan Perompak
a. Pengertian penyamun, perampok, dan perompak
Penyamun,
perampok, dan perompak adalah istilah yang digunakan untuk pengertian
“mengambil harta orang lain dengan menggunakan jalur kekerasan atau
mengancamnya dengan senjata dan terkadang disertai dengan pembunuhan”.
Perbedaannya hanya ada pada tempat kejadiannya;
1)
menyamun
dan merampok di darat
2)
sedangkan
merompak di laut
Dalam kajian
fiqh, praktik menyamun, merampok, atau merompak masuk dalam pembahasan hirâbah
atau qat’ut tharîq (penghadangan di jalan).
b. Hukum
penyamun, perampok, dan perompak
Seperti
diketahui merampok, menyamun dan merompak merupakan kejahatan yang bersifat
mengancam harta dan jiwa. Kala seseorang merampas harta orang lain, dosanya
bisa lebih besar dari dosa seorang pencuri. Karena dalam praktik perampasan
harta ada unsur kekerasan.
Dan jika
perampas harta sampai membunuh korbannya, maka dosanya menjadi lebih besar
lagi, karena ia telah melakukan perbuatan dosa besar yang jelas-jelas
diharamkan agama.
Maka wajar
adanya, jika perampok, penyamun, dan perompak mendapatkan hukuman ganda. Ia
dikenai had, dan diancam hukuman akhirat yang berupa adzab dahsyat. Allah Swt
berfirman:
... وَلَهُمْ فِى الْأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Artinya : “ …
dan di akhirat mereka ( para penyamun) beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al –
Maidah : 33)
c. Had perampok, penyamun, dan perompak
Had perampok,
penyamun, dan perompak secara tegas dinyatakan dalam al-Qur’an, surat al-Maidah
ayat 33:
إِنَّمَا
جَزَاءُ الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فِى الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ
يُقْتَلُوْا أَوْ يُصَلَّبُوْا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيْهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ
خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْيَا وَ
لَهُمْ فِى الْأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Artinya : “ Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang – orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik (secara silang) atau dibuang dari
negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk
mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar…” ( QS. Al –
Maidah :33)
Dari ayat di
atas para ulama sepakat bahwa had perampok, penyamun, dan perompak berupa :
potong tangan dan kaki secara menyilang, disalib, dibunuh dan diasingkan dari
tempat kediamannya.
Kemudian
para ulama berbeda pendapat mengenai had yang disebutkan dalam ayat tersebut,
apakah ia bersifat tauzî’î dimana satu hukuman disesuaikan dengan
perbuatan yang dilakukan seseorang, atau had tersebut bersifat takhyîrî
sehingga seorang hakim bisa memilih salah satu dari beberapa pilihan hukuman
yang ada.
Jumhurul
ulama’ sepakat bahwa hukuman yang dimaksudkan dalam surat al-Maidah ayat 33
bersifat tauzî’î. Karenanya, had dijatuhkan sesuai dengan kadar
kejahatan yang dilakukan seseorang. Berikut simpulan akhir pendapat mayoritas ulama
terkait had yang ditetapkan untuk perampok, penyamun, dan perompak:
1)
Jika
seseorang merampas harta orang lain dan membunuhnya maka hadnya adalah dihukum
mati kemudian disalib.
2)
Jika
seseorang tidak sempat merampas harta orang lain akan tetapi ia membunuhnya
maka hadnya adalah dihukum mati.
3)
Jika
seseorang merampas harta orang lain dan tidak membunuhnya maka hadnya adalah
dihukum potong tangan dan kaki secara menyilang.
4)
Jika
seseorang tidak merampas harta orang lain dan tidak juga membunuhnya semisal
kala ia hanya ingin menakut-nakuti, atau kala ia akan melancarkan aksi jahatnya
ia tertangkap lebih dulu, dalam keadaan seperti ini, ia dijatuhi hukuman had
dengan dipenjarakan atau diasingkan ke luar wilayahnya.
Perlu dijelaskan bahwa hukuman mati terhadap perampok, penyamun,
dan perompak yang membunuh korbannya berdasarkan had bukan qishash, sehingga
tidak dapat gugur walaupun dimaafkan oleh keluarga korban
Sebagian ulama
salaf berpendapat bahwa had perampok, penyamun, perompak yang dijelaskan dalam
surat al-Maidah ayat 33 bersifat takhyiri hingga hakim boleh memilih
salah satu jenis hukuman yang disebutkan dalam ayat tersebut.
d. Perampok, penyamun, dan perompak
yang taubat
Taubatnya
perampok, penyamun, dan perompak setelah tertangkap tidak dapat mengubah
sedikitpun ketentuan hukum yang ada padanya. Namun jika mereka bertaubat
sebelum tertangkap, semisal menyerahkan diri dan menyatakan taubat dengan
kesadaran sendiri, maka gugurlah had. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt
:
إِلَّا
الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوْا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوْا أَنَّ
اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
Artinya :” Kecuali
orang – orang yang taubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai
(menangkap) mereka, maka ketahuilah bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS.Al – Maidah : 34)
Diisyaratkan
dalam ayat tersebut bahwa Allah Swt akan mengampuni mereka (perampok, penyamun,
perompak) yang bertaubat sebelum tertangkap. Ayat ini menunjukkan bahwa had
yang merupakan hak Allah dapat gugur, jika yang bersangkutan bertaubat sebelum
tertangkap.
e. Hikmah pengharaman merampok,
menyamun dan merompak
Prinsipnya,
hikmah pengharaman merampok, menyamun, dan merompak sama dengan hikmah
pengharaman mencuri
7. Bughat (Pembangkang)
a. Pengertian bughat
Kata بُغَاةٌ adalah jamak dari isim fail بَاغٍ.
Akar katanya بَغَى - يَبْغِي yang berarti : mencari, dan dapat pula berarti
maksiat, melampaui batas, berpaling dari kebenaran, dan dzalim.
Adapun bughat dalam pengertian syara’ adalah orang-orang yang
menentang atau
memberontak pemimpin Islam yang terpilih secara syah. Tindakan yang dilakukan
bughat bisa berupa memisahkan diri dari pemerintahan yang syah, membangkang
perintah pemimpin, atau menolak berbagai kewajiban yang dibebankan kepada
mereka.
Seorang baru bisa dikategorikan sebagai bughat dan dikenai had bughat
jika beberapa kriteria ini melekat pada diri mereka:
1) Memiliki kekuatan, baik berupa pengikut
maupun senjata. Dari kriteria ini bisa disimpulkan bahwa penentang imam yang
tak memiliki kekuatan dan senjata tidak bisa dikategorikan sebagai bughat.
2) Memiliki takwil (alasan) atas tindakan mereka
keluar dari kepemimpinan imam atau tindakan mereka menolak kewajiban.
3) Memiliki pengikut yang setia kepada mereka
4) Memiliki imam yang ditaati.
b. Tindakan hukum terhadap bughat
Para bughat harus diusahakan sedemikian
rupa agar sadar atas kesalahan yang mereka lakukan, hingga akhirnya mau kembali
taat kepada imam dan melaksanakan kewajiban mereka sebagai warga negara. Proses
penyadaran kepada mereka harus dimulai dengan cara yang paling halus. Jika cara
tersebut tidak berhasil maka boleh digunakan cara yang lebih tegas. Dan jika
cara tersebut masih juga belum berhasil, maka digunakan cara yang paling tegas.
Berikut urutan tindakan hukum terhadap bughat sesuai
ketentuan fiqh Islam:
1) Mengirim utusan kepada mereka agar
diketahui sebab–sebab pemberontakan yang mereka lakukan. Apabila sebab – sebab itu karena ketidaktahuan mereka
atau keraguan mereka, maka mereka harus diyakinkan hingga ketidak tahuan atau
keraguan itu hilang.
2) Apabila tindakan pertama tidak berhasil,
maka tindakan selanjutnya adalah menasehati dan mengajak mereka agar mau
mentaati imam yang sah.
3) Jika usaha kedua tidak berhasil maka usaha
selanjutnya adalah memberi ultimatum atau ancaman bahwa mereka akan diperangi. Jika setelah munculnya
ultimatum itu mereka meminta waktu, maka harus diteliti terlebih dahulu apakah
waktu yang diminta tersebut akan digunakan untuk memikirkan kembali pendapat
mereka, atau sekedar untuk mengulur waktu. Jika ada indikasi jelas bahwa mereka
meminta penguluran waktu untuk merenungkan pendapat-pendapat mereka, maka
mereka diberi kesempatan, akan tetapi sebaliknya, jika didapati indikasi bahwa
mereka meminta penguluran waktu hanya untuk mengulur-ulur waktu maka mereka tak
diberi kesempatan untuk itu.
4) Jika mereka tetap tidak mau taat, maka
tindakan terakhir adalah diperangi sampai mereka sadar dan taat kembali.
c. Status Hukum Pembangkang
Kalangan bughat tidak dihukumi kafir. Allah
sampaikan hal ini dalam firman-nya pada surat
al-Hujurat ayat 9:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اِقْتَتَلُوْا
فَأَصْلِحُوْا...
Artinya : “ Dan
jika dua golongan dari orang – orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara
keduanya.”(Q.S. al-Hujurat: 4)
Pembangkang yang taubat, taubatnya diterima dan ia tidak boleh
dibunuh. Oleh sebab itu, para bughat yang tertawan tidak boleh diperlakukan
secara sadis, lebih-lebih dibunuh. Mereka cukup ditahan saja hingga sadar.
Adapun harta mereka yang terampas tidak boleh disamakan dengan
ghanimah. Karena setelah mereka sadar, harta tersebut kembali menjadi harta
mereka. Bahkan jika didapati kalangan bughat yang terluka saat perang, mereka
tidak boleh serta merta dibunuh. Terkait hal ini Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan
bahwa kala terjdi perang Jamal, Ali menyuruh agar diserukan: “Yang telah
mengundurkan diri jangan dikejar, yang luka-luka jangan segera dimatikan, yang
tertangkap jangan dibunuh, dan barang siapa yang meletakkan senjatanya harus
diamankan.”
BAB III
PERADILAN
DALAM ISLAM
A. Peradilan
1.
Pengertian
peradilan
Peradilan dalam
pembahasan fiqh diistilahkan dengan qodho’ ( قَضَاءٌ) . Istilah tersebut diambil
dari kata قَضَى – يَقْضِى yang memiliki arti
memutuskan, menyempurnakan, menetapkan. Adapun secara makna terminologi
peradilan adalah suatu lembaga pemerintah atau negara yang ditugaskan untuk
menyelesaikan atau menetapkan keputusan perkara dengan adil berdasarkan hukum
yang berlaku.
Tempat untuk mengadili perkara disebut pengadilan. Dan orang yang bertugas
mengadili perkara disebut qadhi atau hakim. Dengan demikian hukum yang
dijadikan dasar peradilan Islam adalah hukum Islam.
2. Fungsi peradilan
Sebagai lembaga negara yang ditugasi untuk memutuskan setiap perkara
dengan adil, maka peradilan harus memainkan fungsinya dengan baik. Diantara
fungsi terpenting peradilan adalah:
a. Menciptakan ketertiban dan ketentraman
masyarakat.
b. Mewujudkan keadilan yang menyeluruh bagi
seluruh lapisan masyarakat.
c. Melindungi jiwa, harta, dan kehormatan
masyarakat.
d. Mengaplikasikan nilai-nilai amar
makruf nahi munkar, dengan menyampaikan
hak kepada siapapun yang berhak menerimanya dan menghalangi orang-orang dzalim
dari tindak aniaya yang akan mereka lakukan.
3. Hikmah peradilan
Sesuai dengan fungsi dan tujuan peradilan sebagaimana dijelaskan di
atas, maka dengan adanya lembaga peradilan akan diperoleh hikmah yang sangat
besar bagi kehidupan umat, yaitu:
a. Terwujudnya masyarakat yang bersih, karena
setiap orang terlindungi haknya dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh
sahabat Jabir bin Abdillah dimana beliau Saw menjelaskan bahwa satu masyarakat
tidak dinilai bersih, jika hak orang-orang yang lemah diambil orang-orang yang
kuat.
b. Terciptanya aparatur pemerintahan yang
bersih dan berwibawa, karena masyarakat telah menjelma menjadi masyarakat
bersih.
c. Terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat.
Artinya setiap hak – hak orang dihargai dan dilindungi. Allah SWT berfirman :
…وَإِذَا
حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ
Artinya : “ (Allah
menyuruh kamu) apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaklah kamu
(menetapkan) hukum itu dengan adil (QS.An Nisa’: 58)
d.
Terciptanya
ketentraman, kedamaian, dan keamanan dalam masyarakat.
e.
Dapat
mewujudkan suasana yang mendorong untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT
bagi semua pihak. Allah Swt berfirman :
اِعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
Artinya
: “ Berlaku adillah kamu sekalian karena adil itu lebih dekat kepada
taqwa.”(QS. Al – Maidah : 8)
B. Hakim
1.
Pengertian
Hakim
Hakim
adalah orang yang diangkat pemerintah untuk menyelesaikan persengketaan dan
memutuskan hukum suatu perkara dengan adil. Dengan kata lain hakim adalah orang
yang bertugas untuk mengadili. Ia mempunyai kedudukan yang terhormat selama ia
berlaku adil. Terkait dengan kedudukan hakim, Rasulullah menjelaskan dalam
salah satu sabda beliau yang diriwayatkan oleh imam Baihaqi:
إِذَا جَلَسَ الْقَاضِي فِى مَكَانِهِ هَبَطَ عَلَيْهِ مَلَكَانِ
يُسَدِّدَانِهِ وَ يُوَفِّقَانِهِ وَ يُرْشِدَانِهِ مَا لَمْ يَجِرْ فَإِذَا جَارَ
عَرَجَا َتَرَكَاهُ (رواه البيهقي)
Artinya : “Apabila
hakim duduk ditempatnya (sesuai dengan kedudukan hakim adil) maka dua malaikat
membenarkan, menolong dan menunjukkannya selama tidak menyeleweng. Apabila
menyeleweng maka kedua malaikat akan meninggalkannya. (H.R. Baihaqi)
2.
Syarat
– syarat Hakim
Karena
mulianya tugas seorang hakim dan beratnya tanggung jawab yang dipikulkan di
atas pundaknya demi terwujudnya keadilan, maka seorang hakim harus memenuhi
beberapa kriteria berikut:
a.
Beragama
Islam. Karena permasalahan yang terkait dengan hukum Islam tidak bisa
dipasrahkan kepada hakim non muslim.
b.
Aqil
baligh sehingga bisa membedakan antara yang hak dan yang bathil
c.
Sehat
jasmani dan rohani
d.
Merdeka
(bukan hamba sahaya). Karena hamba sahaya tidak mempunyai kekuasaan pada
dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain.
e.
Berlaku
adil sesuai dengan prinsip – prinsip keadilan dan kebenaran
f.
Laki
– laki (bukan perempuan).
g.
Memahami
hukum dalam Al Qur’an dan Sunnah
h.
Memahami
ijma’ ulama serta perbedaan perbedaan tradisi umat
i.
Memahami
bahasa Arab dengan baik, karena berbagai perangkat yang dibutuhkan untuk
memutuskan hukum mayoritas berbahasa Arab.
j.
Mampu
berijtihad dan menguasai metode ijtihad, karena tak diperbolehkan baginya
taqlid.
k.
Seorang
hakim harus dapat mendengarkan dengan baik, karena seorang yang tuli tidak
bisa mendengarkan perkataan atau pengaduan dua belah pihak yang bersengketa.
l.
Seorang
hakim harus dapat melihat. Karena orang yang buta tidak bisa mendeteksi siapa
yang mendakwa dan siapa yang terdakwa.
m.
Seorang
hakim harus mengenal baca tulis.
n.
Seorang
hakim harus memiliki ingatan yang kuat dan dapat berbicara dengan jelas, karena
orang yang bisu tidak mungkin menerangkan keputusan, dan seandainyapun ia
menggunakan isyarat, tidak semua orang bisa memahami isyaratnya.
3.
Macam
– macam hakim dan konsekuensinya
Profesi
hakim merupakan profesi yang sangat mulia. Kemuliaannya karena tanggung
jawabnya yang begitu berat untuk senantiasa berlaku adil dalam memutuskan
segala macam permasalahan. Ia tidak boleh memiliki tendensi kepada salah satu
pendakwa atau terdakwa. Jika ia melakukan tindak kedzaliman kala menetapkan
perkara maka ancaman hukuman neraka telah menantinya.
Simpulannya,
kompensasi yang akan didapatkan oleh seorang hakim yang adil adalah syurga
Allah ta’ala. Sebaliknya, hakim yang dzalim akan mendapatkan kesudahan yang
buruk dimana ia akan distatuskan sebagai ahlunnâr (penghuni neraka).
4.
Tata
cara menentukan hukuman
Orang
yang mendakwa diberikan kesempatan secukupnya untuk menyampaikan tuduhannya
sampai selesai. Sementara itu terdakwa (tertuduh) diminta untuk mendengarkan
dan memperhatikan tuduhannya dengan sebaik – baiknya sehingga apabila tuduhan
sudah selesai, terdakwa bisa menilai benar tidaknya tuduhan tersebut. Sebelum
dakwaan atau tuduhan selesai disampaikan, hakim tidak boleh bertanya kepada
pendakwa, sebab dikhwatirkan akan memberikan pengaruh positif atau negatif
kepada terdakwa.
Setelah
pendakwa selesai menyampaikan tuduhannya, hakim harus mengecek tuduhan –
tuduhan tersebut dengan beberapa pertanyaan yang dianggap penting. Selanjutnya,
tuduhan tersebut harus dilengkapi dengan bukti – bukti yang benar. Jika
terdakwa menolak dakwaan yang ditujukan kepadanya, maka ia harus bersumpah
bahwa dakwaan tersebut salah. Rasulullah sampaikan hal ini dalam salah satu sabda beliau:
الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِى وَالْيَمِيْنُ عَلَى الْمُدَّعَى
عَلَيْهِ (رواه البيهقي)
Artinya: “Pendakwa
harus menunjukkan bukti-bukti dan terdakwa harus bersumpah “(HR Baihaqi)
Jika pendakwa menunjukkan bukti-bukti yang benar maka hakim harus
memutuskan sesuai dengan tuduhan, meskipun terdakwa menolak dakwaan tersebut.
Sebaliknya, jika terdakwa mampu mementahkan bukti-bukti pendakwa dan menegaskan
bahwa bukti-bukti itu salah, maka hakim harus menerima sumpah terdakwa dan
membenarkannya. Kemudian yang perlu diperhatikan juga, bahwa hakim tidak
boleh menjatuhkan vonis hukuman dalam beberapa keadaan berikut:
a.
Saat
marah
b.
Saat
lapar
c.
Saat
kondisi fisiknya tidak stabil karena banyak terjaga (begadang)
d.
Saat
sedih
e.
Saat
sangat gembira
f.
Saat
sakit
g.
Saat
sangat ngantuk
h.
Saat
sedang menolak keburukan yang tertimpakan padanya
i.
Saat
merasakan kondisi sangat panas atau sangat dingin
Kesembilan keadaan inilah yang menyebabkan ijtihad hakim tidak maksimal.
Karenanya, hakim dilarang memutuskan perkara dalam keadaan-keadaan tersebut. Ia
dituntut untuk senantiasa menggulirkan berbagai keputusan seadil-adilnya dan
seobyektif mungkin.
5.
Kedudukan
Hakim Wanita
Madzhab
Maliki, Syafi’i dan Hambali tidak membolehkan pengangkatan hakim wanita. Dasar
mereka adalah sabda Rasulullah yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a. berikut:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً (رواه البخاري)
Artinya :” Tidak
akan berbahagia (mendapatkan kesudahan yang baik) suatu kaum yang menyerahkan
urusan mereka kepada perempuan (HR. Bukhari)
Sedangkan Imam Hanafi membolehkan pengangkatan hakim wanita untuk
menyelesaikan segala urusan kecuali urusan had dan qishash. Bahkan Ibnu Jarir
ath- Thabari membolehkan pengangkatan hakim wanita untuk segala urusan seperti
halnya hakim pria.Menurut beliau, ketika wanita dibolehkan memberikan fatwa
dalam segala macam hal, maka ia juga mendapatkan keleluasaan untuk menjadi
hakim dan memutuskan perkara apapun.
C. Saksi
1.
Pengertian
Saksi
Saksi adalah orang yang diperlukan pengadilan untuk memberikan
keterangan yang berkaitan dengan suatu perkara, demi tegaknya hukum dan
tercapainya keadilan dalam pengadilan.
Tidak dibolehkan bagi saksi memberikan keterangan palsu. Ia harus
jujur dalam memberikan kesaksiannya. Karena itu, seorang saksi harus
terpelihara dari pengaruh atau tekanan, baik yang datang dari luar maupun dari
dalam sidang peradilan.
Pada dasarnya saksi dihadirkan agar proses penetapan hukum dapat
berjalan maksimal. Saksi diharapkan dapat memberikan kesaksian yang sebenarnya,
sehingga para hakim dapat mengadili terdakwa sesuai dengan bukti-bukti yang
ada, termasuk keterangan dari para saksi. Sampai titik ini kita bisa memahami
bahwa saksi juga merupakan salah satu alat bukti disamping bukti-bukti yang
lain.
2.
Syarat
– syarat Menjadi Saksi
a.
Islam.
b.
Sudah
dewasa atau baligh sehingga dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil.
c.
Berakal
sehat.
d.
Merdeka
(bukan seorang hamba sahaya).
e.
Adil.
Sebagaimana firman Allah dalam surat
at-Thalaq ayat 2:
وَأَشْهِدُوْا ذَوَى عَدْلٍ مِنْكُمْ
Artinya : “ Dan
persaksikanlah dengan dua orang yang adil diantara kamu ( QS. At Thalaq : 2 )
Untuk dapat dikatakan sebagai orang yang
adil, saksi harus memiliki kriteria – kriteria sebagai berikut :
a.
Menjauhkan
diri dari perbuatan dosa besar.
b.
Menjauhkan
diri dari perbuatan dosa kecil
c.
Menjauhkan
diri dari perbuatan bid’ah
d.
Dapat
mengendalikan diri dan jujur saat marah
e.
Berakhlak
mulia
Mengajukan kesaksian secara suka
rela tanpa diminta oleh orang yang terlibat dalam suatu perkara termasuk akhlak
terpuji dalam Islam. Kesaksian yang demikian ini merupakan kesaksian murni yang
belum dipengaruhi oleh persoalan lain. Rasulullah bersabda :
أَلَا
أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ شُهَدَاءَ هُوَ الَّذِي يَأْتِي بِالشَّهَادَةِ قَبْلَ أَنْ
يَسْأَلَهَا (رواه مسلم)
Artinya : “Maukah
kalian aku beritahu tentang sebaik-baik saksi? ia adalah orang yang
menyampaikan kesaksiannya sebelum diminta (HR. Muslim)
3.
Saksi
yang ditolak
jika
saksi tidak memberikan keterangan yang sebenarnya, maka kesaksiannya harus
ditolak. Kriteria saksi yang ditolak kesaksiannya adalah:
a.
Saksi
yang tidak adil.
b.
Saksi
seorang musuh kepada musuhnya.
c.
Saksi
seorang ayah kepada anaknya.
d.
Saksi
seorang anak kepada ayahnya.
e.
Saksi
orang yang menumpang di rumah terdakwa
D. Penggugat
Dan Bukti (Bayyinah)
1.
Penggugat
Materi yang dipersoalkan oleh kedua belah pihak yang terlibat
perkara, dalam proses peradilan disebut gugatan. Sedangkan penggugat adalah
orang yang mengajukan gugatan karena merasa dirugikan oleh pihak tergugat (orang
yang digugat)
Penggugat dalam mengajukan gugatannya harus dapat membuktikan
kebenaran gugatannya dengan menyertakan bukti – bukti yang akurat, saksi –
saksi yang adil atau dengan melakukan sumpah. Ucapan sumpah dapat diucapkan
dengan kalimat semisal: “Apabila gugatan saya ini tidak benar, maka Allah
akan melaknat saya”.
Ketiga hal tersebut (penyertaan bukti-bukti yang akurat,
saksi-saksi yang adil, dan sumpah) merupakan syarat diajukannya sebuah gugatan.
2.
Bukti
(Bayyinah)
a.
Pengertian
bukti ( bayyinah)
Barang bukti adalah segala sesuatu yang ditunjukkan oleh penggugat
untuk memperkuat kebenaran dakwaannya. Bukti – bukti tersebut dapat berupa
surat – surat resmi, dokumen, dan barang – barang lain yang dapat memperjelas
masalah terhadap terdakwa.
Terkait dengan hal ini Rasulullah Saw bersabda:
عن جابر أن رجلين اختصما في ناقة، فقال كل واحد منهما : نتجت هذه الناقة
عندى واقام بيّنة فقضى بها رسول الله ص.م. لمن
هي في يده
Artinya : “
Dari Jabir bahwasannya ada dua orang yang bersengketa tentang seekor unta betina
masing – masing orang diantara keduanya mengatakan : “ Peranakan unta ini
milikku” dan ia mengajukan bukti. Maka Rasulullah saw memutuskan bahwa unta ini
miliknya.
b.
Terdakwa
yang tidak hadir dalam persidangan.
Terdakwa yang tidak hadir dalam
persidangan harus terlebih dahulu dicari tahu sebab ketidak hadirannya. Menurut
imam Abu Hanifah mendakwa orang yang tidak ada atau tidak hadir dalam
persidangan diperbolehkan. Allah Swt berfirman:
فَاحْكُمْ
بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ
Artinya : “
Maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil (QS. Shad : 26)
Nabi Muhammad
saw pernah memberi keputusan atas pengaduan isteri Abu Sufyan, sedang kala itu
Abu sufyan tidak hadir dalam persidangan. Rasulullah bersabda kepada istri Abu
Sofyan:
خُذِى مَا
يَكْفِيْكِ (رواه البخاري ومسلم)
Artinya
: “ Ambillah yang mencukupimu (HR.
Bukhari Muslim)
E. Tergugat Dan Sumpah
1.
Tergugat
a.
Pengertian
Tergugat
Orang yang terkena gugatan dari
penggugat disebut tergugat. Tergugat bisa membela diri dengan membantah
kebenaran gugatan melalui 2 cara:
1)
Menunjukkan
bukti-bukti
2)
Bersumpah
Rasulullh
saw bersabda :
الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِى وَالْيَمِيْنُ عَلَى الْمُدَّعَى
عَلَيْهِ (رواه البيهقي)
Artinya: “Pendakwa
harus menunjukkan bukti-bukti dan terdakwa harus bersumpah “(HR Baihaqi)
Dalam peradilan ada beberapa pengistilahan yang perlu dipahami:
1)
Materi
gugatan disebut hak
2)
Penggugat
disebut mudda’i
3)
Tergugat
disebut mudda’a ‘alaih
4)
Keputusan
mengenai hak penggugat disebut mahkum bih
5)
Orang
yang dikenai putusan untuk diambil haknya disebut mahkum bih (istilah ini bisa
jatuh pada tergugat sebagaimana juga bisa jatuh pada penggugat)
2.
Sumpah
a. Tujuan Sumpah
Tujuan sumpah dalam perspektif Islam adal dua, yaitu:
1)
Menyatakan
tekad untuk melaksanakan tugas dengan sungguh – sungguh dan bertanggung jawab
terhadap tugas tersebut
2)
Membuktikan
dengan sungguh – sungguh bahwa yang bersangkutan dipihak yang benar
Tujuan
sumpah yang kedua inilah yang dilakukan di pengadilan. Sumpah tergugat adalah
sumpah yang dilakukan pihak tergugat dalam rangka mempertahankan diri dari
tuduhan penggugat. Selain sumpah, tergugat juga harus menunjukkan bukti-bukti
tertulis dan bahan-bahan yang meyakinkan hakim bahwa dirinya memang benar-benar
tidak bersalah.
b. Syarat – syarat orang yang bersumpah
Orang yang bersumpah harus memenuhi tiga syarat berikut:
1)
Mukallaf
2)
Didorong
oleh kemauan sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun
3)
Disengaja
bukan karena terlanjur dan lain – lain
c. Lafadz – lafadz sumpah
Ada tiga lafadz yang bisa digunakan untuk bersumpah, yaitu: تَاللهِ، بِاللهِ، وَاللهِ)).
Arti ketiga lafadz tersebut adalah “demi Allah”. Rasulullah pernah bersumpah
dengan menggunakan lafadz wallahi, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat
berikut:
وَاللهِ لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Artinya : “ Demi
Allah, sesungguhnya aku akan memerangi kaum quraisy. Kalimat ini belia ulangi
tiga kali. (HR. Abu Daud)
d. Pelanggaran sumpah
konsekuensi yang harus dilakukan oleh seseorang yang melanggar
sumpah adalah membayar kaffarah yamin (denda pelanggaran sumpah) dengan memilih
salah satu dari ketiga ketentuan berikut:
1)
Memberikan
makanan pokok pada sepuluh orang miskin, dimana masing-masing dari mereka
mendapatkan ¾ liter
2)
Memberikan
pakaian yang pantas pada sepuluh orang miskin
3)
Memerdekakan
hamba sahaya.
Jika pelanggar sumpah masih juga tidak mampu membayar kaffarah
dengan melakukan salah satu dari 3 hal di atas, maka ia diperintahkan untuk
berpuasa tiga hari. Sebagaimana hal ini Allah jelaskan dalam firman-Nya:
فَكَفَّارَتُهُ
إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِيْنَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ أَهْلِيْكُمْ أَوْ
كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍصلىفَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Artinya : “Maka
kafarat ( melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu
dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu atau memberi pakaian
kepada mereka atau memerdekakan budak. Barang siapa yang tidak sanggup
melakukan yang demikian maka kafaratnya adalah puasa selama tiga hari (QS. Al
Maidah : 89)